DPRD Kaltim Soroti Ketimpangan Pembangunan di Pulau

DPRD Kaltim Soroti Ketimpangan Pembangunan di Pulau

PARLEMENTARIA – Ketimpangan pembangunan antara wilayah daratan dan kepulauan kembali mencuat ke permukaan. Di tengah masifnya pembangunan infrastruktur di kawasan perkotaan Kalimantan Timur (Kaltim), Pulau Maratua yang dikenal sebagai salah satu destinasi wisata bahari andalan justru harus menghadapi krisis lingkungan yang tak kunjung tertangani secara serius.

Abrasi yang terus terjadi di wilayah Tanjung Harapan, Pulau Maratua, Kabupaten Berau, kian memperlihatkan dampak nyata dari minimnya perhatian pemerintah terhadap wilayah-wilayah terluar. Abrasi yang terjadi bukan hanya sekadar persoalan garis pantai yang menyusut, tetapi juga telah menyentuh titik vital: sumber air bersih dan ruang hidup masyarakat.

Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kaltim, Husin Djufri, menyampaikan keprihatinannya atas situasi yang semakin mengkhawatirkan ini. Ia menilai abrasi di kawasan tersebut sudah pada tingkat darurat dan menuntut penanganan segera, bukan sekadar wacana.

“Di Tanjung Harapan, sumber airnya Pulau Maratua, tapi abrasinya luar biasa. Saya perkirakan sudah hampir satu kilometer garis pantainya tergerus dan solusinya mungkin reklamasi yang benar, karena disitulah pusat kehidupan mereka,” ujar Husin kepada awak media di Samarinda, Jumat (11/07/2025).

Sebagai wilayah yang masuk dalam Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), Maratua seharusnya mendapatkan perhatian penuh dari pemerintah daerah, khususnya dalam perlindungan wilayah pesisir dan pembangunan infrastruktur adaptif. Namun kenyataannya, program konkret untuk mencegah abrasi di Tanjung Harapan belum juga direalisasikan. “Kalau program di Maratua belum ada, khususnya di Tanjung Harapan sangat perlu, karena itu sumber kehidupan warga dan para pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah semua di sana,” tegas Husin.

Ia menilai, selama ini alokasi pembangunan masih terpusat di daratan dan perkotaan. Wilayah kepulauan yang justru memiliki nilai ekologis dan pariwisata yang tinggi justru tertinggal dari sisi perhatian dan perlindungan. Situasi ini, menurut Husin, mencerminkan ketimpangan yang sudah lama berlangsung.

“Kami akan dorong agar dukungan provinsi tidak hanya datang sekali, tapi terstruktur dan terjadwal. Terutama untuk wilayah kepulauan yang selama ini cenderung tertinggal dalam hal infrastruktur dan aksesibilitas,” lanjut politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tersebut.

Yang lebih mengkhawatirkan, abrasi juga telah mengganggu sistem hidrologi lokal. Rembesan air laut ke daratan mulai mencemari cadangan air tawar yang sangat dibutuhkan masyarakat. Jika tidak ada langkah konkret untuk mencegah intrusi air laut, maka krisis air bersih bisa menjadi ancaman nyata di Pulau Maratua. “Kalau abrasi ini terus dibiarkan, bukan hanya air bersih yang hilang, tapi juga masa depan masyarakat di Maratua,” ujar Husin.

Ia mendesak agar Pemerintah Provinsi Kaltim segera menyusun kebijakan tanggap darurat berbasis ekologi dan pembangunan berkelanjutan. Kebijakan ini harus dirancang khusus untuk wilayah kepulauan yang secara geografis rentan, tetapi selama ini luput dari perhatian utama.

Bagi Husin, pembangunan berkeadilan tidak cukup hanya tertulis dalam dokumen perencanaan atau slogan pemerintahan. Ia menekankan bahwa intervensi ekologis seperti reklamasi yang terukur, pemecah ombak, dan penguatan garis pantai harus dilakukan berdasarkan kajian ilmiah dan secara bertahap. Ia berharap pemerintah tidak lagi menjadikan pulau-pulau kecil seperti Maratua sebagai latar belakang pariwisata semata, melainkan sebagai entitas yang harus diperlakukan setara dalam pembangunan, perlindungan lingkungan, dan keberlanjutan hidup warganya. []

Penulis: Muhammaddong | Penyunting: Agnes Wiguna

Advertorial DPRD Kaltim