ADVERTORIAL – Harapan masyarakat Kampung Nusantara kilometer 18, Kelurahan Loa Ipuh Darat, Kecamatan Tenggarong, untuk memperoleh kepastian hukum atas lahan tempat tinggal mereka kembali disuarakan. Persoalan tumpang tindih lahan yang bertahun-tahun membayangi kini menjadi perhatian Komisi I Dewan Perwkailan Rakyat Daerah (DPRD) Kutai Kartanegara (Kukar) melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar pada Selasa (09/09/2025).
Rapat tersebut dipimpin langsung Ketua Komisi I, Agustinus Sudarsono, bersama anggota lainnya yakni Desman Minang Endianto, M. Jamhari, dan Erwin. Dalam pertemuan itu, anggota Komisi I Desman mengungkapkan bahwa masih ada perbedaan pemahaman dalam menyelesaikan konflik lahan antara masyarakat, pemerintah, dan instansi vertikal.
“Karena disampaikan tadi dari 2.200 sekian hektare lahan yang diberikan oleh negara kepada daerah, itu yang masuk di dalam tata ruang itu sekitar 459 sekian hektare, dimana yang 100 sekian itu masih dalam tumpang tindih, salah satunya ini yang menjadikan masyarakat mengadu ke Komisi I,” jelas Desman.
Masyarakat Kampung Nusantara yang tinggal di atas lahan tersebut merasa resah dengan ketidakjelasan status tanah. Mereka khawatir kondisi ini berdampak pada masa depan tempat tinggal maupun penghidupan yang selama ini bergantung pada lahan tersebut. Desman menilai keresahan itu wajar, sebab hingga kini belum ada solusi yang memberi kepastian hukum.
“Nanti kita akan pertemukan, kita minta masyarakat dan instansi tersebut juga membawa dokumen atau data untuk saling mensinergikan supaya masyarakat yang khususnya ada di Kampung Nusantara ini juga tidak risau dan gelisah mengingat apa yang menjadi kehidupan mereka di lahan tersebut tentu punya dasar dan landasan sebelumnya seperti yang mereka paparkan,” ucap legislator PKB tersebut.
Sebagai tindak lanjut, Komisi I berencana memanggil pihak terkait pada pertemuan berikutnya. Agenda itu akan melibatkan Dinas Pertanahan dan Tata Ruang, BPN/ATR, Pemerintah Kecamatan Tenggarong, Kelurahan Loa Ipuh Darat, hingga perusahaan pemegang konsesi, yakni PT Tanito dan PT MHU. Diharapkan, kehadiran semua pihak dapat menghasilkan kesepahaman dan jalan keluar.
“Jadi kita harapkan semoga ke depan batasan atau penetapan termasuk urusan masyarakat dalam legalitas lahan ini juga bisa ada solusinya supaya ada kepastian hukum dan supaya ada kepastian tempat tinggal agar masyarakat tidak gelisah,” pungkas Desman.
Dengan demikian, konflik lahan di Kampung Nusantara tidak hanya soal administrasi tata ruang, tetapi juga menyangkut ketenangan masyarakat yang menginginkan kepastian atas hak mereka. Keputusan konkret dari pertemuan lanjutan nanti akan sangat menentukan masa depan warga yang sudah lama bermukim di kawasan tersebut. []
Penulis: Eko Sulistiyo | Penyunting: Agnes Wiguna