JAKARTA — Suasana haru menyelimuti Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (13/11/2025), ketika Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto secara langsung menyerahkan surat keputusan rehabilitasi kepada dua guru asal Luwu Utara, Sulawesi Selatan, yakni Abdul Muis dan Rasnal.
Langkah ini menjadi penutup dari perjuangan panjang kedua pendidik tersebut dalam mencari keadilan setelah lima tahun menanggung beban hukum dan stigma.
Abdul Muis, guru Sosiologi SMA Negeri 1 Luwu Utara, tidak mampu menyembunyikan rasa harunya. Ia menilai keputusan Presiden bukan hanya pemulihan nama baik, tetapi juga bentuk pengakuan terhadap perjuangan guru di daerah yang sering kali tidak mendapat perhatian.
“Saya pribadi dan keluarga besar saya sampaikan setulus-tulusnya terima kasih kepada Bapak Presiden yang telah memberikan rasa keadilan kepada kami,” ujarnya dalam keterangan tertulis Sekretariat Presiden.
Muis mengaku selama lima tahun merasakan diskriminasi, baik dari aparat penegak hukum maupun lingkungan birokrasi. “Seakan-akan tidak ada yang peduli dengan kasus kami,” katanya lirih.
Senada dengan itu, Rasnal mantan Kepala SMA Negeri 1 Luwu Utara yang kini mengajar Bahasa Inggris di SMA Negeri 3 menyebut perjuangan mereka mencari keadilan sangat melelahkan.
“Ini adalah perjalanan yang sangat melelahkan. Kami telah berjuang dari bawah sampai ke provinsi, tapi belum juga mendapat keadilan,” ungkapnya.
Namun, kelelahan itu seolah terbayar lunas setelah keduanya bertemu langsung dengan Presiden Prabowo dan menerima keputusan rehabilitasi.
“Alhamdulillah Bapak Presiden telah memberikan kami rehabilitasi. Saya tidak bisa mengatakan apa-apa selain terima kasih,” ujar Rasnal dengan mata berkaca-kaca.
Rasnal berharap tidak ada lagi kriminalisasi terhadap guru yang berjuang demi pendidikan. “Semoga ke depan tidak ada lagi guru yang dihukum karena niat baik membantu rekan mereka. Kadang kami dihantui rasa takut kalau sedikit saja salah, bisa langsung dihukum,” tambahnya.
Kasus yang menimpa Abdul Muis dan Rasnal berawal pada 2018, ketika mereka bersama komite sekolah menyepakati iuran sukarela Rp20.000 per bulan dari orangtua siswa untuk membantu guru honorer yang belum terdaftar di Dapodik. Namun, keputusan itu justru dianggap pelanggaran hukum dan berujung pada pencabutan status ASN.
Salah satu orangtua siswa, Akrama, menegaskan bahwa iuran itu hasil kesepakatan bersama tanpa paksaan. “Kami hanya ingin membantu. Tidak ada unsur pungli sama sekali,” ujarnya.
Kini, keputusan Presiden Prabowo menjadi titik balik bagi dua guru tersebut, sekaligus pesan kuat bahwa keadilan bagi pendidik di seluruh Indonesia patut diperjuangkan hingga tuntas. []
Diyan Febriana Citra.

