JAKARTA – Proses hukum terhadap dugaan korupsi proyek fiktif di lingkungan PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk atau PT PP memasuki babak baru. Dua pejabat Divisi Engineering, Procurement, and Construction (EPC) PT PP dijadwalkan segera duduk di kursi terdakwa untuk mendengarkan pembacaan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat pada awal Januari 2026.
Kepala Divisi EPC PT PP Didik Mardiyanto bersama Herry Nurdy yang menjabat sebagai Senior Manager sekaligus Head of Finance & Human Capital Department Divisi EPC PT PP akan menjalani sidang dakwaan secara bersamaan. Persidangan tersebut direncanakan berlangsung pada Selasa, 6 Januari 2026.
“Sidang dakwaan rencananya akan dilaksanakan pada 6 Januari 2026,” ujar Juru Bicara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Andi Saputra, dalam keterangannya, Jumat (19/12/2025).
Perkara ini akan diperiksa oleh majelis hakim yang diketuai I Wayan Yasa dengan dua anggota majelis, yakni Edward Agus dan Nofalinda Arianti. Penunjukan majelis tersebut menjadi bagian dari tahapan awal penanganan perkara setelah proses penyidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinyatakan lengkap untuk dibawa ke pengadilan.
Didik dan Herry sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan oleh KPK pada Selasa (25/11/2025). Penahanan dilakukan setelah penyidik mengantongi sejumlah alat bukti yang dinilai cukup untuk menjerat keduanya dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa kasus ini berawal dari pengelolaan sejumlah proyek di Divisi EPC PT PP dalam rentang waktu 2022 hingga 2023. Pada periode tersebut, Divisi EPC diketahui mengerjakan berbagai proyek, baik secara mandiri maupun melalui skema konsorsium atau joint operation.
Menurut Asep, Didik Mardiyanto diduga memerintahkan Herry Nurdy untuk menyiapkan dana sebesar Rp 25 miliar yang diklaim berkaitan dengan keperluan Proyek Cisem, sebuah proyek yang dimenangkan Divisi EPC PT PP melalui proses tender.
Untuk menyamarkan pengeluaran tersebut agar terlihat sah secara administratif, keduanya diduga merekayasa penggunaan vendor fiktif. Vendor tersebut menggunakan nama PT AW dengan identitas office boy, disertai pembuatan dokumen purchase order, tagihan, hingga proses validasi pembayaran yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.
“Setelah dana dibayarkan kepada masing-masing vendor fiktif, DM (Didik) dan HNN (Herry) menerima dana pencairan dari vendor fiktif tersebut melalui stafnya dalam bentuk valas,” ujar Asep dalam konferensi pers saat itu.
Tak hanya pada satu proyek, praktik serupa disebut juga dilakukan pada sejumlah proyek lainnya dengan nilai mencapai Rp 10,8 miliar. Modus penggunaan vendor fiktif ini dilakukan secara berulang dan sistematis.
Akibat perbuatan tersebut, negara diperkirakan mengalami kerugian keuangan sedikitnya Rp 46,8 miliar. “Akibat adanya pengeluaran dari kas perusahaan untuk pembayaran vendor fiktif yang tidak menghasilkan manfaat apa pun bagi perusahaan,” tuturnya.
Atas perbuatannya, Didik dan Herry disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 64 Ayat (1) KUHP. Sidang dakwaan pada awal tahun 2026 akan menjadi penentu arah lanjutan proses hukum perkara ini. []
Diyan Febriana Citra.

