Dua Perampok Museum Louvre Ditangkap, Barang Curian Masih Hilang

Dua Perampok Museum Louvre Ditangkap, Barang Curian Masih Hilang

Bagikan:

PARIS — Polisi Prancis berhasil menangkap dua tersangka utama dalam kasus perampokan besar di Museum Louvre, salah satu ikon budaya paling terkenal di dunia. Namun, hingga kini, perhiasan bersejarah bernilai ratusan juta dolar yang dicuri dari galeri tersebut belum juga ditemukan.

Jaksa Paris, Laure Beccuau, menyampaikan bahwa kedua tersangka telah “sebagian mengakui” keterlibatan mereka dalam pencurian yang terjadi pada 19 Oktober 2025.

“Saya masih ingin percaya bahwa perhiasan itu akan ditemukan dan dapat dikembalikan ke Museum Louvre dan lebih luas lagi, kepada bangsa,” ujarnya dalam konferensi pers, Rabu (29/10/2025).

Kedua pria itu kini menghadapi dakwaan awal atas tuduhan pencurian oleh kelompok terorganisir serta konspirasi kriminal dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. Menurut penyidik, mereka diyakini sebagai pelaku yang menerobos Apollo Gallery, ruang pameran yang menyimpan sebagian perhiasan mahkota Prancis, termasuk kalung berlian dan zamrud pemberian Napoleon Bonaparte kepada istrinya lebih dari dua abad lalu.

Aksi mereka berlangsung hanya dalam empat menit. Dua pencuri bertopeng menaiki tangga listrik di atas truk, memotong kaca pengaman dengan gergaji listrik, lalu menghancurkan dua etalase pajangan sebelum melarikan diri dengan delapan perhiasan berharga.

Salah satu pelaku, pria berusia 34 tahun asal Aljazair, ditangkap di Bandara Charles de Gaulle saat hendak terbang ke Aljazair menggunakan tiket sekali jalan. Sementara itu, pelaku kedua, warga Prancis berusia 39 tahun, ditangkap di rumahnya di pinggiran utara Paris. Polisi menemukan DNA kedua pria tersebut pada kaca jendela yang dirusak dan barang yang ditinggalkan di lokasi, termasuk sebuah skuter motor.

Meski dua tersangka telah diamankan, dua orang lain yang diduga membantu pelarian masih buron. Jaksa Beccuau memastikan, hingga kini, seluruh perhiasan curian masih hilang.

“Perhiasan itu, tentu saja, tidak mungkin dijual sekarang, siapa pun yang membelinya akan bersalah atas penadahan barang curian. Masih ada waktu untuk mengembalikannya,” ujarnya.

Penyidik sejauh ini telah mengumpulkan 189 barang bukti, menganalisis 150 sampel forensik, dan mewawancarai 20 saksi. Namun, hasilnya belum menunjukkan titik terang mengenai keberadaan delapan perhiasan bersejarah tersebut. Sejumlah ahli menduga perhiasan itu bisa saja telah dibongkar dan batu permatanya dipotong ulang, membuat pemulihannya hampir mustahil.

Kasus ini memicu sorotan tajam terhadap lemahnya sistem keamanan museum nasional Prancis. Kepala Polisi Paris, Patrice Faure, mengakui adanya “celah besar” dalam jaringan pengawasan Louvre. Ia menyebut sebagian kamera museum masih analog dan bahkan izin operasional sistem keamanannya sempat kedaluwarsa pada Juli lalu. “Masalahnya bukan penjaga di pintu, melainkan mempercepat rantai peringatan,” ujarnya.

Faure menolak usulan penempatan pos polisi permanen di dalam museum, namun mendorong pemerintah untuk mengadopsi teknologi deteksi berbasis AI guna mengidentifikasi aktivitas mencurigakan secara real time.

Di sisi lain, Menteri Kebudayaan Rachida Dati menolak desakan agar Direktur Louvre mundur. Ia mengakui adanya kekurangan sistem, tetapi meminta publik menunggu hasil penyelidikan. “Tidak ada yang menyangkal adanya kekurangan. Tapi penyelidikan harus tetap berjalan dengan tenang,” katanya.

Kritik juga muncul terkait kebijakan tanpa asuransi bagi koleksi nasional. Pemerintah Prancis memberlakukan sistem self-insurance karena premi asuransi untuk benda warisan budaya dinilai terlalu mahal. Akibatnya, Museum Louvre tidak akan menerima kompensasi finansial atas hilangnya harta seni bernilai sejarah tinggi itu.

Peristiwa ini menjadi peringatan serius bagi otoritas Prancis bahwa reputasi dan keamanan warisan budaya dunia kini tengah dipertaruhkan bukan hanya di ruang pamer Louvre, tetapi juga di mata publik internasional. []

Diyan Febriana Citra.

Bagikan:
Internasional Kasus