JAKARTA – Perjalanan hukum mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi memasuki fase krusial. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dijadwalkan membacakan putusan sela dalam perkara dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan penerimaan gratifikasi yang menjerat Nurhadi, Senin (15/12/2025). Putusan sela ini akan menentukan apakah perkara tersebut dapat berlanjut ke tahap pembuktian atau justru berhenti di tahap awal persidangan.
Majelis hakim yang diketuai Fajar Kusuma Aji akan membacakan putusan setelah mempertimbangkan nota keberatan atau eksepsi yang diajukan oleh pihak terdakwa serta tanggapan jaksa penuntut umum (JPU). Berdasarkan catatan dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, eksepsi dari pihak Nurhadi telah dibacakan pada Jumat (28/11/2025), sementara JPU menyampaikan tanggapan pada Senin (08/12/2025).
“Senin, 15 Desember 2025, Agenda, Pembacaan putusan sela,” sebagaimana dikutip dari SIPP PN JAKPUS, Minggu (14/12/2025).
Dalam nota keberatannya, Nurhadi secara tegas membantah seluruh dakwaan yang dialamatkan kepadanya. Ia menolak tudingan menerima gratifikasi senilai Rp 137,1 miliar serta dugaan melakukan pencucian uang dengan nilai mencapai Rp 307,2 miliar. Pihak terdakwa menilai dakwaan jaksa tidak berdasar dan tidak mencerminkan fakta hukum yang sebenarnya.
Kubu Nurhadi menegaskan bahwa saat menjabat sebagai Sekretaris MA, kliennya tidak memiliki kewenangan untuk mencampuri atau memengaruhi penanganan perkara. Jabatan tersebut, menurut mereka, hanya berkaitan dengan urusan administratif dan keuangan lembaga.
“Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Sekretaris MA dalam jabatannya sama sekali tidak memiliki kewenangan dalam hal pengurusan perkara,” ujar salah satu pengacara Nurhadi dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (28/11/2025).
Dalam pembelaannya, Nurhadi juga menyinggung dugaan keterlibatan menantunya, Rezky Herbiyono, yang oleh jaksa disebut berperan dalam praktik pencucian uang. Pihak Nurhadi membantah adanya kaitan antara aliran dana tersebut dengan terdakwa. Seluruh transaksi keuangan yang melibatkan Rezky diklaim berasal dari aktivitas bisnis pribadi.
“Penerimaan-penerimaan yang dilakukan oleh Rezky Herbiyono adalah timbul dari hubungan bisnis yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan Terdakwa,” lanjut pengacara Nurhadi.
Atas dasar itu, tim kuasa hukum meminta majelis hakim mengabulkan eksepsi dan menyatakan dakwaan JPU batal demi hukum. Sebaliknya, jaksa penuntut umum bersikukuh bahwa dakwaan telah disusun sesuai ketentuan hukum acara pidana dan meminta agar perkara tetap dilanjutkan ke tahap pembuktian.
Dalam perkara ini, Nurhadi didakwa atas dua tindak pidana sekaligus. Untuk dugaan gratifikasi, ia dijerat Pasal 12 B jo Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP. Sementara untuk dugaan TPPU, Nurhadi didakwa melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Kasus ini juga tidak dapat dilepaskan dari rekam jejak hukum Nurhadi sebelumnya. Pada 2021, ia telah divonis enam tahun penjara setelah terbukti menerima suap sebesar Rp 35,726 miliar dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal periode 2014–2016, Hiendra Soenjoto, terkait pengurusan dua perkara. Selain itu, ia juga dinyatakan terbukti menerima gratifikasi senilai Rp 13,787 miliar dari sejumlah pihak yang berperkara di berbagai tingkat peradilan.
Putusan sela hari ini akan menjadi penentu awal arah kelanjutan perkara yang kembali menyeret nama mantan pejabat tinggi lembaga peradilan tersebut. []
Diyan Febriana Citra.

