PARLEMENTARIA – Instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang melarang pejabat publik dan keluarganya memamerkan kekayaan atau melakukan flexing, serta meminta pengurangan kegiatan seremonial di lingkungan pemerintahan, dinilai sebagai langkah yang strategis dalam memperkuat kedekatan antara pemimpin dan masyarakat. Kebijakan ini muncul di tengah meningkatnya sensitivitas publik terhadap gaya hidup mewah para pejabat, terutama setelah sejumlah aksi unjuk rasa yang memuncak sejak akhir Agustus lalu.
Alih-alih dianggap sebagai pembatasan, instruksi tersebut justru dipandang sebagai upaya membangun kembali kepercayaan publik terhadap birokrasi. Salah satu tokoh legislatif di Kalimantan Timur, Firnadi Ikhsan, yang menjabat sebagai Anggota Komisi II DPRD Provinsi Kaltim, menyambut positif arahan tersebut. Ia menekankan bahwa kedekatan emosional antara pemerintah dan rakyat tidak bisa dibangun jika pejabat masih mempertontonkan gaya hidup yang mencolok.
“Mengurangi kegiatan yang bersifat seremonial merupakan refleksi dari pengetatan anggaran di mana kondisi keuangan sedang berkurang dan sudah ditindaklanjuti di daerah. Kemudian kita harus lebih serius lagi, untuk kegiatan yang seremonial tidak perlu dilaksanakan secara mewah,” ujar Firnadi kepada awak media, saat ditemui di Samarinda, Minggu (07/09/2025).
Firnadi juga menggarisbawahi bahwa budaya kerja birokrasi yang sederhana dan bersahaja dapat menumbuhkan rasa empati dan solidaritas, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih. Ia mengajak semua pihak yang berkaitan langsung dengan penggunaan anggaran negara agar tidak menyalahgunakan kepercayaan publik dengan menggelar kegiatan yang tidak esensial.
“Kami mendukung dan menghimbau kepada semua yang menggunakan anggaran negara untuk tidak melakukan hal-hal yang sifatnya tidak terlalu penting dalam menunaikan tugas kita,” tegasnya.
Instruksi Mendagri dinilai Firnadi tidak semata menyasar tampilan luar, tetapi lebih pada pembenahan mental dan moral aparatur negara. Ia mengingatkan, pamer kekayaan bukan hanya mencederai etika, tetapi juga dapat memicu kecemburuan sosial di tengah masyarakat yang sedang berjuang dalam situasi ekonomi sulit.
“Bagi seorang pejabat yang mendapatkan sesuatu yang bersumber dari dana rakyat, kita harus menyesuaikan budaya yang ada di sekitar kita. Jika melewati batasan budaya itu tentu akan menjadi catatan masyarakat,” tambah politisi dari daerah pemilihan Kutai Kartanegara tersebut.
Lebih lanjut, Firnadi menyampaikan bahwa kesederhanaan bukanlah simbol kelemahan, melainkan bentuk penghormatan terhadap rakyat yang diwakili. Menurutnya, pejabat publik harus lebih mengedepankan pelayanan nyata ketimbang sekadar menunjukkan status sosial melalui barang mewah atau kegiatan eksklusif.
“Sebagai orang yang melayani masyarakat, tidak boleh lebih dari warga yang akan dilayani. Meskipun secara pribadi memiliki kemampuan lebih, tapi tidak etis untuk ditampilkan, terutama ketika kita sedang prihatin semua,” ujarnya.
Arahan dari Mendagri ini juga mencakup perilaku di media sosial. Pejabat dan keluarganya diminta untuk menahan diri dari unggahan yang menunjukkan kemewahan atau berpotensi menyinggung perasaan publik. Langkah ini diyakini dapat menjaga citra aparatur negara yang berintegritas dan memperlihatkan empati kepada masyarakat luas.
Sejalan dengan dukungan legislatif dan harapan publik yang semakin tinggi terhadap etika kepemimpinan, instruksi ini diharapkan mampu membentuk birokrasi yang lebih humanis, hemat anggaran, serta berfokus pada pelayanan. Pejabat pun diimbau untuk menjadi teladan dalam sikap dan perilaku, demi menjaga harmoni sosial dan memperkuat rasa keadilan. []
Penulis: Muhammaddong | Penyunting: Agnes Wiguna