PARLEMENTARIA – Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penyelenggaraan Pendidikan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur (Kaltim) kembali menuai sorotan. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menilai draf Raperda yang ada saat ini belum menyentuh persoalan mendasar dunia pendidikan di Benua Etam.
Pandangan tersebut disampaikan langsung oleh Anggota Komisi II DPRD Kaltim dari Fraksi PDIP, Yonavia, dalam Rapat Paripurna ke-25 DPRD Kaltim di Gedung B, Senin (21/7/2025). Menurutnya, pembahasan Raperda ini seharusnya tidak berhenti pada formalitas, melainkan menjadi momentum untuk merumuskan solusi nyata. “Kami tidak ingin Raperda ini hanya jadi dokumen formal tanpa makna. Harus hadir sebagai solusi nyata untuk masalah pendidikan di Kalimantan Timur,” tegas Yonavia.
Yonavia memaparkan setidaknya lima persoalan besar yang menurut PDIP belum terakomodasi secara memadai dalam draf Raperda. Pertama, ketimpangan akses pendidikan di wilayah pedalaman dan pesisir. Masih banyak anak-anak di daerah terpencil yang kesulitan menikmati layanan pendidikan akibat buruknya infrastruktur jalan, terbatasnya sarana dan prasarana sekolah, serta minimnya tenaga pendidik.
“Ini bukan sekadar soal keberadaan sekolah, tetapi apakah anak-anak benar-benar bisa belajar dengan layak atau tidak. Kondisi geografis dan keterbatasan akses telah menjadi hambatan utama pemerataan pendidikan di daerah tertinggal,” ujarnya.
Kedua, kualitas tenaga pendidik yang belum merata. Di banyak daerah pelosok, guru belum memiliki sertifikasi dan jarang mendapat pelatihan berkelanjutan. Kondisi ini berdampak pada mutu pembelajaran dan memperlebar jurang kualitas pendidikan antara kota dan desa.
Ketiga, keterbatasan pemanfaatan teknologi pendidikan. Menurut Yonavia, di era digital saat ini, integrasi teknologi di sekolah-sekolah Kaltim masih jauh dari optimal. Infrastruktur digital belum merata dan kemampuan guru dalam mengoperasikan perangkat teknologi juga masih minim.
“Transformasi digital tidak bisa sekadar diserahkan ke sekolah. Pemerintah harus hadir untuk menjamin adanya infrastruktur, pelatihan, dan dukungan teknis agar kesenjangan digital tidak semakin lebar,” tegasnya.
Keempat, lemahnya keterhubungan antara sekolah vokasi dan dunia industri. Yonavia menilai lulusan SMK di Kaltim sering kesulitan terserap pasar kerja karena keterampilan yang dimiliki belum sesuai dengan kebutuhan riil dunia usaha. Kurikulum yang tidak terintegrasi dengan kebutuhan industri membuat daya saing lulusan rendah.
Kelima, minimnya perlindungan hukum bagi tenaga pendidik. Banyak guru ragu menegakkan kedisiplinan terhadap siswa karena khawatir terseret masalah hukum tanpa payung perlindungan. Situasi ini dikhawatirkan melemahkan kewibawaan guru dan mengganggu proses pembelajaran.
Untuk memastikan Raperda benar-benar menjawab masalah di lapangan, Fraksi PDIP mendorong pembentukan Panitia Khusus (Pansus) yang melibatkan banyak pihak, termasuk tenaga pendidik, pemerhati pendidikan, hingga perwakilan masyarakat. Dengan begitu, pembahasan tidak hanya dilakukan di ruang rapat DPRD, tetapi juga menyerap aspirasi dari daerah-daerah yang selama ini merasakan langsung ketimpangan pendidikan.
Yonavia menekankan, keberadaan Raperda ini harus menjadi landasan kebijakan yang aplikatif, bukan sekadar memenuhi persyaratan administratif. Ia meminta agar setiap pasal dalam regulasi tersebut berorientasi pada pemecahan masalah konkret. “Pemerintah daerah harus memastikan bahwa Raperda ini benar-benar dapat diimplementasikan di lapangan dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat,” ucapnya.
Fraksi PDIP berharap pembahasan Raperda Penyelenggaraan Pendidikan menjadi langkah awal membangun sistem pendidikan Kaltim yang lebih adil dan merata. Dengan mengatasi ketimpangan wilayah, memperkuat kualitas guru, memanfaatkan teknologi, serta menghubungkan dunia pendidikan dengan industri, diharapkan sumber daya manusia Kaltim dapat bersaing di tingkat nasional bahkan global. []
Penulis: Muhamaddong | Penyunting: Agnes Wiguna