Gencatan Senjata Gaza Batal, AS-Israel Mundur

Gencatan Senjata Gaza Batal, AS-Israel Mundur

Gaza — Jalan panjang menuju gencatan senjata di Gaza kembali terjal. Harapan untuk meredakan konflik kembali terganjal, menyusul pernyataan tegas dari Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menyatakan hengkang dari meja perundingan dengan Hamas.

Kegagalan negosiasi ini memperkuat persepsi bahwa solusi damai di Jalur Gaza semakin menjauh. Netanyahu menyatakan, Israel kini mempertimbangkan langkah “alternatif” untuk dua misi utama: membebaskan para sandera dan menghentikan dominasi Hamas di wilayah tersebut.

“Tradisi kami adalah tidak menyerah pada tekanan,” kata Netanyahu, memberi sinyal akan melanjutkan langkah militer sebagai opsi utama.

Sementara itu, Presiden Trump menyampaikan retorika keras yang menyoroti penilaiannya terhadap Hamas. “Mereka ingin mati. Dan itu sangat buruk,” ungkap Trump, Sabtu (26/07/2025). Ia menyiratkan bahwa para pemimpin Hamas akan menjadi target serangan, menunjukkan bahwa pendekatan militer masih menjadi prioritas utama dalam strategi AS.

Konflik berkepanjangan ini memicu perpecahan di kalangan negara-negara besar. Di tengah kelumpuhan negosiasi, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengambil langkah diplomatik penting dengan menyatakan bahwa negaranya akan mengakui secara resmi keberadaan negara Palestina.

Langkah ini menjadikan Prancis sebagai kekuatan besar Barat pertama yang secara terbuka mendukung status kenegaraan Palestina. Namun, pengakuan tersebut tidak diikuti negara-negara sekutu utama Eropa lainnya seperti Inggris dan Jerman.

Perdana Menteri Inggris, Keith Starmer, menyatakan bahwa pengakuan Palestina hanya dapat dilakukan dalam kerangka solusi damai menyeluruh. Sementara itu, Trump menanggapi pernyataan Macron dengan sinis. “Apa yang dia katakan tidak penting,” katanya. Meski demikian, ia menyebut Macron sebagai “orang yang baik”.

Keputusan Israel dan AS menarik delegasinya dari Qatar menjadi pukulan telak terhadap peluang tercapainya gencatan senjata jangka pendek. Meskipun awalnya disebut hanya sebagai bentuk “konsultasi”, pernyataan lanjutan dari Netanyahu memperjelas bahwa langkah ini menunjukkan perubahan sikap ke arah lebih agresif.

Utusan khusus AS, Steve Witkoff, menegaskan bahwa pihaknya menyalahkan Hamas atas kebuntuan tersebut. Sebaliknya, juru bicara Hamas, Basem Naim, menyebut bahwa pihaknya justru menyambut negosiasi dengan pendekatan konstruktif dan telah mengajukan proposal kompromi.

Mediator dari Qatar dan Mesir berupaya menjaga semangat diplomasi tetap hidup. Meski proses negosiasi terhenti, mereka menyebut bahwa jeda ini merupakan bagian dari dinamika perundingan yang umum terjadi dalam konflik bersenjata.

Proposal terbaru berisi rencana penghentian pertempuran selama 60 hari, pembebasan sekitar 50 sandera, serta izin masuk bantuan kemanusiaan secara signifikan ke Gaza. Namun, penarikan pasukan Israel dan ketidakjelasan pasca-jeda menjadi batu sandungan utama.

Sementara itu, pernyataan Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, yang menyerukan penaklukan penuh Gaza dan pembangunan permukiman Yahudi baru, semakin menambah ketegangan.

Krisis Gaza bukan hanya persoalan militer atau politik, tapi juga tragedi kemanusiaan yang terus memburuk. Ketika kepentingan geopolitik lebih dikedepankan daripada nyawa warga sipil, maka perdamaian akan tetap menjadi ilusi yang jauh dari kenyataan. []

Diyan Febriana Citra.

Hotnews Internasional