JAKARTA – Sidang lanjutan gugatan perdata mengenai riwayat pendidikan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Senin (15/12/2025). Agenda persidangan kali ini menyoroti pembuktian dari pihak tergugat, yakni Gibran Rakabuming Raka dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, yang menghadirkan seorang ahli hukum tata negara untuk memperkuat bantahan terhadap gugatan penggugat.
Ahli yang dihadirkan adalah Ida Budhiati, Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sekaligus akademisi hukum tata negara dari Universitas Bhayangkara. Kehadiran Ida dimaksudkan untuk memberikan pandangan akademis terkait proses kepemiluan serta pemenuhan syarat pencalonan dalam pemilihan umum, khususnya yang dipersoalkan dalam perkara ini.
Sebelum menyampaikan pendapat sebagai ahli, Ida terlebih dahulu menjalani pemeriksaan identitas oleh majelis hakim. Dalam persidangan, ia menjelaskan latar belakang keilmuannya di bidang hukum tata negara dan administrasi negara.
“Saya di Universitas Bhayangkara menjadi dosen tata hukum negara dan administrasi negara,” ujar Ida dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (15/12/2025).
Hakim Ketua Brelly Yanuar kemudian menanyakan pengalaman Ida dalam memberikan keterangan sebagai ahli di persidangan.
“Saudara pernah jadi ahli sebelumnya di sidang?” tanya Hakim Brelly.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Ida menyatakan bahwa dirinya telah beberapa kali hadir sebagai ahli dalam perkara yang berkaitan dengan pemilu.
“Pernah, di perkara pemilu,” jawab Ida.
Dalam sidang ini, pihak tergugat hanya mengajukan satu orang ahli. Sementara itu, Subhan selaku penggugat belum menghadirkan ahli untuk mendukung dalil gugatannya. Majelis hakim mencatat kondisi tersebut sebagai bagian dari dinamika pembuktian yang masih akan berlanjut pada agenda persidangan berikutnya.
Perkara perdata dengan nomor 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst. ini terdaftar sejak 29 Agustus 2025. Gugatan tersebut mempersoalkan riwayat pendidikan Gibran Rakabuming Raka pada jenjang sekolah menengah atas. Penggugat menilai terdapat ketidaksesuaian antara latar belakang pendidikan Gibran dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi syarat pencalonan wakil presiden.
Berdasarkan data yang pernah dipublikasikan KPU RI, Gibran tercatat menempuh pendidikan di Orchid Park Secondary School, Singapura, pada periode 2002–2004, serta melanjutkan pendidikan di UTS Insearch Sydney pada 2004–2007. Kedua institusi tersebut dipandang sebagai setara dengan jenjang SMA.
Namun, penggugat berpendapat bahwa dua lembaga pendidikan tersebut tidak memenuhi kriteria sebagai satuan pendidikan setingkat SLTA sebagaimana diatur dalam peraturan di Indonesia. Atas dasar itu, Subhan menuding Gibran dan KPU RI telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Dalam petitum gugatannya, penggugat meminta majelis hakim menyatakan pencalonan Gibran tidak sah, sekaligus menuntut ganti rugi dalam jumlah fantastis.
“Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng membayar kerugian materiil dan immateriil kepada Penggugat dan seluruh Warga Negara Indonesia sebesar Rp 125 triliun dan Rp 10 juta dan disetorkan ke kas negara,” bunyi petitum tersebut.
Sidang ini menjadi sorotan publik karena menyangkut legitimasi jabatan wakil presiden serta peran KPU sebagai penyelenggara pemilu. Majelis hakim menegaskan bahwa seluruh dalil, bukti, dan keterangan ahli akan dinilai secara objektif sebelum pengadilan menjatuhkan putusan. []
Diyan Febriana Citra.

