JAKARTA – Dinamika konflik Israel-Palestina memasuki babak baru setelah kelompok Hamas pada Jumat (03/10/2025) malam menyatakan persetujuan terhadap proposal gencatan senjata yang diajukan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Langkah ini dianggap sebagai titik balik yang dapat membuka ruang negosiasi lebih luas, termasuk soal masa depan administrasi di Gaza.
Dalam pernyataannya, Hamas mengonfirmasi “persetujuan untuk membebaskan semua tawanan pendudukan, baik yang masih hidup maupun jenazah yang telah meninggal, sesuai dengan kerangka pertukaran yang termasuk dalam proposal Presiden Trump.”
Keputusan tersebut memperlihatkan adanya kesediaan Hamas untuk menempuh jalur diplomasi. Mereka juga menegaskan kesiapan mengikuti pembicaraan lebih lanjut melalui peran mediator.
“Kami mengapresiasi upaya Arab, Islam, dan internasional, serta upaya Presiden AS Donald Trump,” demikian pernyataan Hamas.
Selain menyangkut isu sandera, Hamas menyinggung kemungkinan penyerahan pengelolaan wilayah Gaza kepada sebuah lembaga Palestina yang beranggotakan tokoh independen. Hal ini menandakan adanya pergeseran pendekatan politik di tubuh Hamas, dari strategi konfrontatif menuju mekanisme pengelolaan bersama.
Sebelumnya, Trump telah memberikan batas waktu hingga Minggu (05/10/2025) bagi Hamas untuk merespons tawarannya. Proposal itu berisi 20 poin kesepakatan, yang antara lain mencakup gencatan senjata segera, pembebasan semua sandera, perlucutan senjata Hamas, jaminan warga Gaza tetap tinggal di wilayahnya, serta pembentukan panel perdamaian yang akan bertugas menjalankan administrasi sementara. Tokoh internasional seperti mantan Perdana Menteri Inggris, Sir Tony Blair, disebut turut masuk dalam panel tersebut.
Israel, yang hadir bersama Trump saat peluncuran proposal di Gedung Putih pada 29 September 2025, lebih dulu menyatakan kesediaan menerima rancangan tersebut. Dengan adanya langkah terbaru dari Hamas, peluang untuk memulai kembali negosiasi terbuka semakin lebar.
Meski begitu, sejumlah analis menilai implementasi proposal ini tidak akan mudah. Isu perlucutan senjata Hamas masih menjadi poin sensitif, sementara pembentukan badan independen pengelola Gaza dapat menimbulkan perdebatan di internal Palestina. Di sisi lain, dukungan negara-negara Arab dan komunitas internasional akan menjadi kunci keberhasilan realisasi kesepakatan.
Keputusan Hamas untuk mengisyaratkan keterbukaan dalam perundingan kini menimbulkan harapan baru, baik bagi masyarakat Gaza maupun bagi pihak-pihak yang selama ini berupaya mengakhiri konflik berkepanjangan di kawasan tersebut. []
Diyan Febriana Citra.