MAKASSAR – Pemerintah Indonesia semakin memperkuat sinergi lintas lembaga, masyarakat sipil, dan media dalam rangka membangun kesatuan narasi nasional menjelang pelaksanaan Conference of Parties ke-30 (COP30) di Belem, Brasil, pada November 2025. Upaya ini menjadi langkah strategis agar posisi dan pesan Indonesia dalam isu perubahan iklim tersampaikan kuat di panggung global.
“Kami sedang berupaya menyederhanakan penyampaian informasi, agar tidak terjadi salah persepsi. Isu perubahan iklim ini sangat teknikal, jadi penting memastikan publik dan pemangku kepentingan memahami dengan benar,” ujar Humas Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH)/Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Yulia Suryanti, melalui keterangan pers di Makassar, Jumat (17/10/2025).
Dalam forum Green Editor Forum yang digagas Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ), Yulia menegaskan bahwa strategi komunikasi terpadu menjadi kunci utama agar isu perubahan iklim dapat diterima dan dipahami secara luas. Menurutnya, keberhasilan diplomasi Indonesia di COP30 sangat bergantung pada konsistensi pesan dan kesatuan sikap antar-pemangku kepentingan.
Ia menyebut COP30 bukan sekadar ajang negosiasi internasional, melainkan momentum untuk menegaskan kepemimpinan Indonesia dalam mewujudkan ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan.
“COP30 bukan hanya forum negosiasi, tapi juga ajang menunjukkan bahwa isu iklim bisa menjadi peluang pembangunan berkelanjutan. Kami ingin memperlihatkan bahwa Indonesia mampu memanfaatkannya untuk mendorong ekonomi hijau,” paparnya.
BPLH/KLH, kata Yulia, kini tengah menyiapkan strategi komunikasi nasional dengan menggandeng jurnalis dan mitra media di berbagai daerah. Sinergi ini diharapkan mampu memperkuat pemahaman publik terhadap isu iklim serta mencegah perbedaan narasi yang bisa melemahkan posisi Indonesia di forum internasional.
“Lucu kalau kita berdebat di luar negeri, tapi tidak satu suara di dalam negeri. Karena itu kami dorong pemahaman bersama dan penguatan kapasitas komunikasi, baik di pusat maupun daerah,” tambahnya.
Dari sisi masyarakat sipil, Perwakilan Yayasan Pikul Torry Kuswardono menyoroti pentingnya partisipasi publik dalam merumuskan posisi Indonesia di COP30. Ia menilai, kebijakan iklim yang efektif harus menyentuh akar keadilan sosial.
“Krisis iklim adalah persoalan struktural. Kalau akar ketimpangan tidak diatasi, kebijakan iklim hanya akan melahirkan ketidakadilan baru,” tegasnya.
Torry menjelaskan, sedikitnya 36 organisasi masyarakat sipil tergabung dalam Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARKI) yang mendorong agar kebijakan iklim nasional berlandaskan konstitusi, termasuk perlindungan masyarakat adat sebagaimana diatur dalam Pasal 18B dan 28 UUD 1945.
“Kami ingin negara setia pada konstitusi, bukan hanya pada target iklim di atas kertas,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Umum SIEJ Joni Aswira Putra menilai media memiliki peran strategis dalam memperkuat posisi Indonesia di COP30. Ia menegaskan bahwa pemberitaan lingkungan harus berbasis sains, berpihak pada keadilan, dan menampilkan solusi nyata di tingkat lokal.
“Editor memegang peran penting memastikan itu terjadi di ruang redaksi. Kolaborasi antara media, pemerintah, dan masyarakat sipil menjadi kunci, agar pemberitaan mengenai komitmen iklim Indonesia semakin transparan dan berdampak,” ujarnya. []
Diyan Febriana Citra.