JAKARAT – Upaya memperkuat jembatan pemahaman antaragama kembali digelorakan Indonesia melalui kerja sama diplomatik dengan Uni Eropa. Dalam rangka menunjukkan wajah keberagaman yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI bersama Uni Eropa menggelar Indonesia–EU Interfaith and Intercultural Dialogue yang diselenggarakan pada 27 November hingga 1 Desember 2025 di Jakarta dan Yogyakarta. Melalui forum ini, Indonesia berharap praktik toleransi yang tumbuh secara turun-temurun dapat menjadi inspirasi bagi komunitas agama di Eropa.
Dialog ini dibuka secara resmi oleh Direktur Diplomasi Publik Kemlu, Ani Nigeriawati, yang menekankan pentingnya agama dan budaya sebagai fondasi hubungan antarbangsa.
“Agama dan kepercayaan adalah instrumen perdamaian, dan budaya adalah instrumen yang menghubungkan. Bersama-sama, keduanya menjadi aset diplomasi soft power yang memungkinkan kita membangun hubungan,” ujar Ani dalam sambutannya di Jakarta, Kamis (27/11/2025).
Ani menjelaskan bahwa dunia saat ini tengah menghadapi dinamika global yang tidak sederhana. Serangkaian persoalan seperti perubahan iklim, krisis energi, ancaman keamanan siber, serta gesekan geopolitik yang semakin kuat menjadi tantangan yang perlu dijawab dengan cara-cara baru. Menurutnya, kondisi tersebut memperlihatkan bahwa tidak ada satu negara atau komunitas yang mampu berjalan sendiri. Sikap saling bergantung dan kerja sama lintas sektor menjadi syarat mutlak.
Ia menekankan bahwa keterlibatan luas mulai dari pemerintah, masyarakat sipil, generasi muda, perempuan, hingga para pemuka agama merupakan bagian penting dalam memperkuat ketahanan sosial global. Dalam konteks inilah, ujar Ani, dialog lintas keyakinan tidak lagi dapat dipandang sebagai kegiatan simbolis.
“Dalam konteks inilah, dialog kita akan membawa pesan kuat bahwa saling memahami, saling menghormati, dan saling mempercayai antarindividu dari latar belakang dan keyakinan yang berbeda semakin relevan dari sebelumnya. Nilai-nilai inilah yang menjadi fondasi bagi perdamaian dan penangkal perpecahan,” ungkapnya.
Ani turut mengingatkan bahwa forum serupa terakhir kali digelar pada 2012, sehingga pertemuan kali ini menjadi momentum penting untuk memperbarui komitmen kedua belah pihak. Pelaksanaannya mengacu pada prinsip-prinsip yang tertuang dalam Partnership and Cooperation Agreement (PCA), perjanjian dasar yang sejak 2014 menjadi landasan utama hubungan Indonesia–Uni Eropa.
Pada kesempatan pembukaan, Wakil Kepala Perwakilan Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia, Stéphane Mechati, menyoroti nilai-nilai moderasi yang telah lama hidup di Indonesia. Ia menilai bahwa pengalaman Indonesia dalam merawat kerukunan antaragama dapat menjadi referensi penting bagi kawasan Eropa yang terdiri dari 27 negara anggota.
“Semoga dialog ini dapat membantu kita mengatasi prasangka masing-masing, saling memahami dengan lebih baik, serta memungkinkan para tamu untuk mengenal dan melihat secara langsung bagaimana Indonesia mempraktikkan toleransi dan keberagaman,” ujarnya.
Tahun ini, dialog difokuskan pada tiga tema utama, yaitu koeksistensi lintas agama, peran tokoh agama dalam pelestarian lingkungan, serta kontribusi pemimpin perempuan dalam komunitas keagamaan. Ketiga isu tersebut dipilih karena dinilai relevan dengan kebutuhan global untuk memperkuat kerja sama lintas budaya dan merespons tantangan masa depan dengan pendekatan inklusif.
Melalui forum ini, Indonesia berharap dicapai penguatan jejaring kolaboratif yang tidak hanya berbentuk pertukaran gagasan, tetapi juga menghasilkan kerja nyata di tingkat komunitas. Dengan menonjolkan pengalaman Indonesia dalam merawat keberagaman, pemerintah berharap dialog tersebut dapat memperkaya perspektif global tentang pentingnya toleransi dalam membangun masa depan yang damai. []
Diyan Febriana Citra.

