JAKARTA — Persidangan kasus suap yang melibatkan mantan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) Muhammad Arif Nuryanta kembali memanas. Dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (12/11/2025), Jaksa Penuntut Umum (JPU) menegaskan bahwa seluruh terdakwa terbukti bersalah menerima suap terkait vonis lepas tiga perusahaan besar crude palm oil (CPO).
“(Memohon agar hakim) menyatakan terdakwa Muhammad Arif Nuryanta telah secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi menerima suap yang dilakukan bersama-sama sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 6 ayat 2 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan 1 ke-1 subsider penuntut umum,” ujar jaksa saat membacakan replik.
Jaksa menolak seluruh nota pembelaan (pledoi) dari Arif maupun empat terdakwa lainnya, dan meminta majelis hakim menjatuhkan vonis sesuai tuntutan.
Jaksa juga menyoroti pengembalian uang suap oleh para terdakwa yang dianggap tidak dapat dijadikan alasan keringanan hukuman.
“Memang sudah sepatutnya dikembalikan karena terdakwa sesungguhnya tidak layak mendapatkan kekayaan dan keuntungan yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi,” tegas jaksa.
Kasus ini berawal dari dugaan suap untuk mempengaruhi putusan perkara korupsi tiga korporasi besar Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group yang akhirnya mendapat putusan lepas (onslag) dari majelis hakim.
Dalam perkara ini, tiga hakim anggota yakni Djuyamto, Agam Syarif Baharudin, dan Ali Muhtarom, masing-masing dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan penjara. Mereka juga diminta membayar uang pengganti: Djuyamto Rp9,5 miliar, sedangkan Agam dan Ali masing-masing Rp6,2 miliar.
Sementara itu, Muhammad Arif Nuryanta sebagai pimpinan pengadilan yang ikut menerima aliran dana, dituntut 15 tahun penjara, denda Rp500 juta subsider enam bulan, serta membayar uang pengganti Rp15,7 miliar.
Adapun Wahyu Gunawan, Panitera Muda PN Jakarta Utara nonaktif, dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta. Wahyu berperan sebagai penghubung antara pihak korporasi dan pengadilan, serta menerima suap Rp2,4 miliar. Bila tidak mampu membayar uang pengganti, jaksa meminta agar hartanya disita dan diganti pidana tambahan enam tahun penjara.
Dalam sidang-sidang sebelumnya, para terdakwa mengakui telah menerima uang suap dan menyampaikan permintaan maaf karena telah mencederai integritas lembaga peradilan. Total dana suap dalam perkara ini mencapai Rp40 miliar.
Jaksa menilai, perbuatan para terdakwa telah mencoreng nama baik peradilan dan menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga hukum. Karena itu, tuntutan berat dinilai pantas dijatuhkan sebagai bentuk tanggung jawab moral dan hukum. []
Diyan Febriana Citra.

