JAKARTA – Dunia ilmu pengetahuan dan lingkungan kehilangan salah satu tokoh paling berpengaruh abad ini. Jane Goodall, ahli primata yang dikenal luas atas dedikasinya mempelajari perilaku simpanse dan memperjuangkan kelestarian alam, meninggal dunia pada Rabu, 1 Oktober 2025, di usia 91 tahun. Kabar tersebut dikonfirmasi oleh Jane Goodall Institute dan langsung mengundang duka mendalam di berbagai belahan dunia.
Menurut laporan CNN, Goodall menghembuskan napas terakhir di California saat menjalani tur globalnya. Penyebab kematian disebutkan karena faktor usia. Meski demikian, kepergiannya meninggalkan warisan ilmu dan gerakan yang akan terus menginspirasi generasi mendatang.
“Penemuan Dr. Goodall sebagai seorang ahli etologi merevolusi ilmu pengetahuan, dan ia adalah seorang advokat yang tidak kenal lelah untuk perlindungan dan pemulihan alam kita,” tulis Jane Goodall Institute dalam pernyataan resmi.
Goodall bukan hanya dikenal sebagai peneliti yang mengubah cara dunia melihat hewan, tetapi juga aktivis yang gigih membela satwa liar dan memperjuangkan isu-isu lingkungan global. Pada tahun 2002, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menganugerahinya gelar Messenger of Peace. Ia juga menerima penghargaan US Presidential Medal of Freedom pada 2025, serta diangkat sebagai Dame of the British Empire pada 2004.
“Goodall bekerja tanpa lelah untuk planet kita dan semua penghuninya, meninggalkan warisan yang luar biasa untuk kemanusiaan dan alam,” tulis akun resmi PBB di X.
Lahir di London tahun 1934, minat Goodall pada dunia hewan sudah terlihat sejak kecil setelah membaca kisah Dr. Doolittle dan Tarzan. Perjalanan ilmiahnya dimulai ketika ia bertemu dengan Prof. Louis Leakey di Kenya. Tanpa latar belakang akademis formal, Leakey melihat potensinya dan mengirimnya untuk meneliti simpanse di Tanzania pada 1960.
Penelitiannya mencatat momen bersejarah, ia menyaksikan seekor simpanse jantan, David Greybeard, menggunakan tongkat untuk menggali rayap dari sarangnya. Temuan ini mengguncang pandangan ilmiah saat itu, sekaligus membuktikan bahwa manusia bukan satu-satunya spesies yang menggunakan alat. Karyanya kemudian dipublikasikan secara luas, bahkan pada 1965 wajahnya menghiasi sampul National Geographic, membuka mata dunia tentang kehidupan emosional dan sosial primata.
Meski sempat diragukan oleh banyak ilmuwan laki-laki karena pendekatan personal dan kedekatannya dengan hewan penelitian, Goodall tak berhenti. Ia menempuh gelar PhD tanpa sebelumnya memiliki gelar sarjana, membuktikan bahwa kerja keras dan rasa ingin tahu bisa menembus batas akademis.
Seiring waktu, Goodall memperluas kiprahnya di luar penelitian. Ia aktif mengkampanyekan kebebasan simpanse dari penangkaran maupun penelitian medis, serta menyerukan aksi nyata melawan perubahan iklim dan kerusakan habitat. Suaranya menjadi simbol perjuangan manusia untuk hidup berdampingan dengan alam.
Kini, kepergiannya meninggalkan jejak mendalam. Jane Goodall bukan sekadar ilmuwan, melainkan juga pejuang lingkungan yang mengajarkan dunia bahwa empati lintas spesies adalah dasar bagi kelestarian bumi. []
Diyan Febriana Citra.