JAKARTA — Uskup Keuskupan Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo, menekankan bahwa berbagai bencana yang kerap melanda Indonesia tidak dapat dipahami semata sebagai fenomena alam. Menurutnya, terdapat keterkaitan kuat antara bencana tersebut dan perilaku manusia yang kurang bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup.
Pernyataan tersebut disampaikan Kardinal Suharyo usai memimpin Misa Pontifikal Natal 2025 di Gedung Karya Pastoral, Paroki Katedral Jakarta, Kamis (25/12/2025). Dalam suasana perayaan Natal, ia mengajak umat untuk melihat bencana sebagai panggilan refleksi iman dan koreksi atas cara manusia memperlakukan alam.
“Bencana-bencana yang kita alami ini tidak hanya karena faktor alam, tetapi juga karena peran manusia yang merusak lingkungan hidup,” ujar Suharyo.
Ia menuturkan, pesan Natal sejatinya tidak berhenti pada perayaan liturgi, tetapi harus mendorong perubahan sikap dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Kardinal, makna keselamatan yang dirayakan dalam Natal perlu diwujudkan dalam tanggung jawab sosial, kepedulian terhadap sesama, serta komitmen menjaga alam ciptaan.
Kardinal Suharyo menilai kerusakan lingkungan merupakan persoalan global yang kompleks. Berbagai praktik seperti konsumsi energi berlebihan, eksploitasi sumber daya alam tanpa kajian dampak yang memadai, hingga kebijakan pembangunan yang mengabaikan keseimbangan ekologi, menjadi faktor yang memperparah risiko bencana.
Mengutip ensiklik Laudato Si’ karya Paus Fransiskus, ia mengingatkan bahwa dunia adalah “rumah bersama” umat manusia. Dalam konteks ini, kelompok kuat dan kaya sering kali menikmati manfaat pembangunan, sementara dampak kerusakan lingkungan justru ditanggung oleh kelompok lemah dan miskin.
“Pesan Gereja adalah pesan moral. Harapannya, para pemimpin yang memikul mandat rakyat bekerja sebaik-baiknya demi kesejahteraan dan kebaikan bersama,” ujar dia.
Sebagai langkah konkret, Keuskupan Agung Jakarta pada 2026 akan memberi perhatian khusus pada isu lingkungan melalui gagasan “pertobatan ekologis”. Kardinal Suharyo menjelaskan bahwa pertobatan ekologis tidak selalu diwujudkan dalam tindakan besar, tetapi dapat dimulai dari kebiasaan sederhana dalam kehidupan sehari-hari.
“Hal-hal kecil seperti itu adalah bentuk pertobatan yang menyentuh seluruh wilayah kehidupan manusia,” ujar Suharyo.
Ia mencontohkan tindakan sederhana seperti mengurangi sampah makanan, membawa tas belanja sendiri untuk menekan penggunaan plastik, hingga menyisihkan dana sebagai kompensasi emisi karbon ketika bepergian. Menurutnya, kebiasaan kecil tersebut memiliki dampak besar jika dilakukan secara konsisten dan kolektif.
Selain pertobatan ekologis, Kardinal Suharyo juga menyerukan pertobatan nasional untuk mengembalikan cita-cita kemerdekaan sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Ia menekankan bahwa pertobatan sejati bukan sekadar ritual, melainkan gaya hidup yang berakar pada iman dan tanggung jawab moral.
“Dalam konsep Kristiani, manusia diciptakan untuk memuliakan dan berbakti kepada Allah. Memuliakan Allah itu diwujudkan dalam ibadah, tetapi harus diterjemahkan secara konkret dalam bakti kepada sesama,” kata dia.
Ia mengingatkan bahwa kegagalan memuliakan Allah kerap terwujud dalam sikap memuliakan diri sendiri, termasuk penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan. “Jabatan itu bukan untuk diduduki demi kepentingan pribadi, melainkan dipangku sebagai amanah untuk kebaikan bersama. Ketika jabatan digunakan untuk diri sendiri, di situlah akar banyak persoalan, termasuk korupsi,” ujar dia.
Dalam kesempatan yang sama, Kardinal Suharyo juga menjelaskan mekanisme solidaritas Gereja Katolik dalam membantu korban bencana alam, khususnya di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh. Bantuan dihimpun melalui kolekte khusus di seluruh keuskupan dan paroki di bawah koordinasi Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), lalu disalurkan melalui Caritas Indonesia.
“Namun, karena kebutuhan sangat besar dan mendesak, beberapa keuskupan juga menyalurkan bantuan langsung ke keuskupan setempat, seperti Padang, Sibolga, dan wilayah Aceh,” kata dia.
Ia menambahkan, proses pemulihan pascabencana membutuhkan waktu panjang. Berdasarkan kajian yang ada, pemulihan sosial, ekonomi, hingga trauma korban dapat berlangsung selama 20 hingga 25 tahun. “Ini bukan soal satu atau dua bulan. Membayangkan rumah tertimbun longsor saja sudah sulit, apalagi mengembalikan kehidupan seperti semula,” ujar dia. []
Diyan Febriana Citra.

