Kasus Ferry Irwandi, Usman Hamid Kritik TNI dan Sebut Panglima hingga DPR

Kasus Ferry Irwandi, Usman Hamid Kritik TNI dan Sebut Panglima hingga DPR

JAKARTA – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, melontarkan kritik keras terhadap tindakan Satuan Siber TNI yang mendatangi Polda Metro Jaya untuk berkonsultasi mengenai dugaan tindak pidana kejahatan siber oleh konten kreator Ferry Irwandi. Menurutnya, langkah tersebut di luar kewenangan militer dan berpotensi mengancam ruang kebebasan berekspresi masyarakat sipil.

Pernyataan itu ia sampaikan melalui sebuah video di akun Instagram pribadinya, @usmanham_id, pada Selasa (9/9/2025). Usman menegaskan bahwa tugas pokok TNI adalah menjaga pertahanan negara, bukan mengurusi ranah hukum pidana yang menjadi kewenangan kepolisian.

Kasus ini mencuat setelah Komandan Satuan Siber Mabes TNI, Brigjen Juinta Omboh Sembiring, bersama rombongan mendatangi Polda Metro Jaya pada Senin (8/9/2025). Kehadiran mereka disebut sebagai bagian dari konsultasi hukum atas temuan patroli siber terkait pernyataan Ferry mengenai “algoritma media sosial”.

Ferry Irwandi, yang dikenal sebagai CEO Malaka Project sekaligus influencer dengan jutaan pengikut, membantah tuduhan itu. Melalui akun Instagram, ia menyatakan siap menghadapi proses hukum dan menegaskan, “ide tidak bisa dibunuh atau dipenjara.”

Tiga Sikap Tegas Usman Hamid

Dalam pernyataannya, Usman menyampaikan tiga poin sikap tegas. Pertama, ia meminta Menteri Pertahanan dan Panglima TNI untuk mengoreksi tindakan Satuan Siber dan mengurungkan niat membawa Ferry ke ranah pidana. Ia menekankan bahwa ancaman siber yang menjadi wewenang TNI adalah serangan terhadap sistem pertahanan nasional, bukan pernyataan warga negara di media sosial.

Kedua, Usman mendorong Komisi I DPR untuk mengklarifikasi persoalan ini kepada Panglima TNI. Menurutnya, langkah itu penting agar tidak terjadi penyimpangan lebih lanjut dari tugas pokok TNI. Ia mengingatkan bahwa cyber defense dalam konteks militer berkaitan dengan perlindungan dari ancaman luar negeri, bukan opini publik.

Ketiga, ia meminta Polda Metro Jaya tidak melanjutkan laporan TNI terhadap Ferry. Usman khawatir, jika kepolisian memproses laporan itu, maka Polri akan dianggap bekerja di bawah tekanan militer.

Konteks Demokrasi dan Penjelasan Polisi

Usman menegaskan, kebebasan berekspresi merupakan hak konstitusional warga negara. Ia menilai kritik Ferry, termasuk soal dugaan keterlibatan pihak tertentu dalam kerusuhan pada 28–30 Agustus, harus dilihat sebagai bagian dari partisipasi publik. Menurutnya, militer tidak boleh memasuki ranah sipil karena dapat menimbulkan ketakutan dan membatasi ruang demokrasi.

Pernyataan Usman turut mendapat dukungan dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang menilai langkah TNI berpotensi melampaui kewenangan.

Sementara itu, Wadirreskrimsus Polda Metro Jaya AKBP Alvian Yunus menjelaskan bahwa Brigjen Juinta memang sempat mengutarakan keinginan melaporkan dugaan tindak pidana Ferry Irwandi. Namun polisi menegaskan bahwa, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, institusi negara tidak bisa melaporkan kasus pencemaran nama baik.

“Beliau kan ingin melaporkan, iya (Ferry Irwandi) terus kita sampaikan bahwa menurut putusan MK, institusi enggak bisa melaporkan, harus pribadi kalau pencemaran nama baik,” ujar Alvian.

Kasus ini memantik diskusi lebih luas mengenai batas kewenangan antar-lembaga negara dalam isu siber. Usman berharap momentum ini dapat mempertegas pemisahan peran antara TNI dan Polri, demi menjaga demokrasi dan kebebasan berekspresi di Indonesia.[]

Putri Aulia Maharani

Nasional