JAKARTA – Persidangan praperadilan yang diajukan Nadiem Makarim terkait status tersangkanya dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook di Kemendikbudristek periode 2019-2022 akan segera digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Jumat (03/10/2025). Kejaksaan Agung (Kejagung) memastikan siap menghadapi gugatan tersebut.
“Insya-Allah siap hadir,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna, di Gedung Kejagung, Jakarta, Kamis (02/10/2025).
Gugatan praperadilan itu diajukan pihak Nadiem dengan alasan penetapan tersangka terhadap mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tersebut tidak sah. Salah satunya, karena Nadiem mengaku tidak pernah menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP). Menanggapi hal itu, Kejagung menyatakan prosedur telah dijalankan sesuai aturan.
“SPDP sudah diberi. Selama ini SPDP, ‘kan, tidak ada kewajibannya. Kewajiban SPDP, ‘kan, diberikan kepada penuntut umum,” jelas Anang.
Di sisi lain, tim kuasa hukum Nadiem, Dodi S. Abdulkadir, mengemukakan tujuh alasan utama yang mereka yakini menjadikan penetapan tersangka kliennya cacat hukum. Pertama, penetapan tersangka dilakukan tanpa adanya audit resmi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menunjukkan kerugian negara nyata (actual loss).
Kedua, audit BPKP serta Inspektorat atas Program Bantuan Peralatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) 2020-2022 juga tidak menemukan adanya indikasi kerugian negara akibat tindakan Nadiem. Bahkan laporan keuangan Kemendikbudristek periode 2019-2022 mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Ketiga, menurut tim hukum, penetapan tersangka cacat prosedural karena tidak didukung minimal dua alat bukti sah sebagaimana disyaratkan Pasal 184 KUHAP serta Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 21/PUU-XII/2014.
Keempat, Nadiem menyebut tidak pernah menerima SPDP, yang semestinya menjadi dasar fungsi pengawasan penuntut umum sebagaimana putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015.
Kelima, dasar penetapan tersangka menggunakan Program Digitalisasi Pendidikan 2019-2022 yang disebut kuasa hukum tidak pernah tercantum dalam RPJMN 2020-2024 maupun dokumen resmi Kemendikbudristek.
Keenam, terdapat ketidakakuratan dalam pencantuman identitas Nadiem pada surat penetapan tersangka, yakni ditulis sebagai karyawan swasta, padahal pada periode 2019-2024 ia menjabat sebagai Mendikbudristek.
Ketujuh, Nadiem dinilai kooperatif selama proses hukum, sudah dicekal untuk bepergian, dan tidak lagi menjabat sebagai menteri sehingga kecil kemungkinan melarikan diri atau menghilangkan barang bukti.
Dengan adanya praperadilan ini, publik menantikan bagaimana hakim akan menilai sah atau tidaknya proses hukum yang menjerat mantan menteri tersebut. Persidangan di PN Jakarta Selatan pada Jumat siang menjadi momentum penting, baik bagi Kejagung untuk membuktikan legalitas penetapan tersangka, maupun bagi Nadiem untuk memperjuangkan hak hukumnya. []
Diyan Febriana Citra.