TOKYO – Gaya kerja Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi kembali menjadi pusat perbincangan publik setelah kebiasaannya menggelar rapat staf pada pukul 03.00 dini hari terungkap dalam rapat legislatif. Langkah tersebut memantik kritik luas karena dinilai justru bertentangan dengan upaya pemerintah Jepang sendiri dalam mengurangi budaya kerja berlebihan, yang selama bertahun-tahun membayangi kehidupan para pekerja di Jepang.
Takaichi, yang tahun ini menjadi perempuan pertama memimpin pemerintahan Jepang, mengakui bahwa intensitas pekerjaannya membuat jam istirahatnya sangat terbatas.
“Saya tidur sekitar dua jam sekarang, paling lama empat jam. Saya merasa itu buruk untuk kulit saya,” ujar Takaichi dalam rapat komite legislatif, Kamis (13/11/2025), seperti dikutip AFP. Pernyataan itu memicu diskusi mengenai inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam isu tenaga kerja.
Dalam kesempatan yang sama, Takaichi juga dimintai penjelasan soal rencana pemerintahannya memperpanjang batas maksimal lembur sebagai bagian dari strategi pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini dianggap sejumlah anggota parlemen dapat memperburuk persoalan klasik Jepang, jam kerja panjang yang rentan berujung pada kondisi ekstrem seperti karoshi atau kematian akibat bekerja berlebihan.
Menanggapi sorotan tersebut, Takaichi menegaskan bahwa kebutuhan pekerja dan pelaku usaha tidak selalu seragam. “Beberapa orang memilih bekerja dua pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup, sedangkan perusahaan memberlakukan batasan ketat pada lembur,” katanya. Ia menambahkan, pemerintah tetap akan memprioritaskan aspek perlindungan kesehatan pekerja sebelum menetapkan perubahan aturan apa pun.
Meski dikritik, Takaichi menyatakan memahami bahwa banyak masyarakat Jepang mendambakan keseimbangan antara beban kerja dan kehidupan pribadi.
“Memang, jika kita dapat menciptakan situasi ketika orang dapat menyeimbangkan tanggung jawab pengasuhan anak dan keluarga dengan pekerjaan, menikmati waktu luang, dan bersantai, itu akan menjadi hal yang ideal,” tuturnya.
Sejak dilantik pada Oktober 2025, Takaichi menjalani masa kepemimpinan yang diwarnai agenda padat. Ia kerap berpindah antara rapat kabinet, pertemuan regional, hingga dialog bilateral dengan sejumlah pemimpin dunia, seperti Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Presiden China Xi Jinping, dan Presiden Korea Selatan Lee Jae-myung. Intensitas ini dianggap beberapa pengamat sebagai cerminan etos kerja Takaichi yang sudah tampak sejak ia memenangkan kursi Ketua Partai Demokrat Liberal.
Kala itu, dalam pidato kemenangannya, ia pernah mengatakan, “Saya akan menyingkirkan istilah ‘keseimbangan kerja dan hidup’ untuk diri saya sendiri. Saya akan bekerja, bekerja, bekerja, bekerja, dan bekerja.” Pandangan tersebut kini kembali disorot karena dipandang tidak sejalan dengan upaya nasional mengurangi budaya overwork yang telah lama menjadi persoalan sosial dan kesehatan publik di Jepang. []
Diyan Febriana Citra.

