PARLEMENTARIA – Persoalan ketimpangan pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) antara pemerintah pusat dan daerah kembali mengemuka. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur (Kaltim), Hasanuddin Mas’ud, menegaskan bahwa provinsi yang menjadi salah satu penyumbang utama pendapatan negara dari sektor sumber daya alam (SDA) itu masih menerima porsi DBH yang jauh dari kata ideal.
Dalam pernyataannya di Samarinda, Jumat (12/7/2025), Hasanuddin menggarisbawahi bahwa kontribusi Kaltim dari sektor pertambangan, kehutanan, dan perkebunan sudah seharusnya diimbangi dengan alokasi DBH yang sepadan. Namun kenyataannya, porsi yang diterima daerah belum mencerminkan proporsi kontribusinya terhadap penerimaan negara. “Kaltim ini penyumbang utama dari sektor tambang, kehutanan, dan perkebunan. Tapi jatah DBH-nya masih jauh dari kata adil,” tegas Hasanuddin.
Ia menekankan bahwa perjuangan untuk memperbaiki pembagian DBH bukan sekadar demi keuntungan lokal, melainkan menuntut hak yang memang sudah sepatutnya diperoleh daerah. Menurutnya, reformasi sistem fiskal nasional menjadi kebutuhan mendesak agar keadilan benar-benar terwujud dalam kebijakan pembagian anggaran. “Ini bukan ego daerah. Ini soal hak. Sistem fiskal nasional harus berpihak pada kontribusi nyata, bukan sekadar hitung-hitungan politik,” ujarnya.
Hasanuddin menilai, pola distribusi DBH yang berlaku saat ini cenderung merugikan daerah penghasil. Padahal, wilayah seperti Kaltim menanggung dampak langsung dari aktivitas eksploitasi sumber daya alam, mulai dari kerusakan lingkungan, penurunan kualitas infrastruktur, hingga beban sosial ekonomi masyarakat setempat.
Ia juga menegaskan komitmen DPRD Kaltim untuk menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan perubahan kebijakan ini. Berbagai forum nasional akan dimanfaatkan untuk menyampaikan aspirasi daerah, termasuk menjalin komunikasi intensif dengan kementerian terkait, anggota DPR RI, hingga lembaga-lembaga yang memiliki pengaruh dalam perumusan kebijakan fiskal.
Dalam pandangannya, perjuangan memperjuangkan keadilan fiskal memerlukan kolaborasi lintas sektor. Tidak hanya pemerintah daerah, tetapi juga dunia akademik, masyarakat sipil, dan pemangku kepentingan di sektor industri. Hasanuddin mengajak semua pihak untuk bersatu memperjuangkan sistem yang lebih adil. “Jangan sampai daerah yang menyumbang paling besar justru menikmati paling sedikit. Keadilan fiskal bukan pilihan, tapi keharusan,” tegasnya lagi.
Menurutnya, keadilan fiskal yang dimaksud bukan hanya untuk menambah porsi penerimaan daerah, tetapi juga untuk mempercepat pemerataan pembangunan, memperkuat layanan publik, dan memastikan keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam. Jika tidak segera dibenahi, ketimpangan ini dikhawatirkan akan memperlebar kesenjangan pembangunan antara daerah penghasil SDA dan wilayah lain.
Hasanuddin mencontohkan, di sejumlah daerah penghasil, kondisi infrastruktur jalan, fasilitas pendidikan, dan layanan kesehatan masih belum memadai, meski daerah tersebut berkontribusi signifikan terhadap penerimaan negara. Hal ini menjadi bukti bahwa sistem fiskal saat ini belum sepenuhnya berpihak pada pemerataan pembangunan.
Pernyataan Hasanuddin ini juga mempertegas posisi Kaltim sebagai provinsi yang siap mengambil peran aktif dalam mendorong reformasi kebijakan fiskal nasional. Ia berharap, pemerintah pusat dapat merespons tuntutan ini dengan langkah konkret, termasuk melalui revisi regulasi yang mengatur pembagian DBH.
Kesadaran akan pentingnya keadilan fiskal, menurutnya, harus menjadi agenda bersama. Tidak hanya karena alasan ekonomi, tetapi juga demi menjaga rasa keadilan dan persatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan perjuangan yang terkoordinasi dan konsisten, Hasanuddin optimistis bahwa ke depan, daerah penghasil SDA seperti Kaltim akan memperoleh haknya secara lebih proporsional, sehingga mampu memperkuat pembangunan daerah dan meningkatkan kesejahteraan warganya. []
Penulis: Muhamaddong | Penyunting: Agnes Wiguna