Ketua DPRD Kaltim: Tanpa Helikopter, Mahulu Sulit Ditangani

Ketua DPRD Kaltim: Tanpa Helikopter, Mahulu Sulit Ditangani

PARLEMENTARIA – Persoalan keterisolasian wilayah kembali menjadi sorotan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur (Kaltim). Kali ini, Ketua DPRD Kaltim Hasanuddin Mas’ud menekankan pentingnya langkah konkret pemerintah dalam memastikan akses transportasi darurat di Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu), daerah perbatasan yang kerap menghadapi hambatan distribusi logistik.

Hasanuddin menilai, kondisi geografis Mahulu yang berbatasan langsung dengan Sarawak, Malaysia, membuat wilayah ini sangat strategis, tetapi sekaligus rentan. Terbatasnya infrastruktur jalan, surutnya aliran sungai, serta ketergantungan pada transportasi air menjadi tantangan utama yang berulang kali memicu persoalan distribusi bahan pokok. “Kalau terjadi bencana, akses ke Mahulu itu susah. Jalan darat nggak bisa, air lagi surut. Solusinya yang paling cepat ya lewat udara, pakai helikopter,” katanya, Senin, (04/08/2025).

Menurutnya, situasi ini tidak hanya berdampak pada mobilitas, tetapi juga memengaruhi ketersediaan kebutuhan dasar masyarakat. Ia mencontohkan kasus kelangkaan beras dan gas yang pernah terjadi. Lonjakan harga bahan pokok mencapai titik ekstrem karena jalur distribusi tidak berjalan. “Sekarang ini, harga beras bisa sampai sejuta, gas juga mahal. Pemerintah harus hadir dengan solusi konkret. Kalau bisa, bantuan itu dikirim lewat udara,” ujarnya.

Hasanuddin mengingatkan bahwa Mahulu bukan sekadar daerah terpencil, tetapi juga bagian dari wilayah perbatasan yang menjadi garda depan negara. Namun, hingga kini, tidak ada skema transportasi darurat permanen yang dimiliki pemerintah provinsi. Padahal, di masa lalu pernah ada inisiatif pengadaan helikopter dengan sistem patungan antara Pemprov Kaltim, Polda, dan Kodam.

“Dulu zaman Pak Akmal, kita pernah sewa helikopter bareng-bareng, patungan dengan Polda dan Pangdam. Dana sekitar Rp2 miliar itu kita anggarkan tiap 6 bulan. Waktu tidak ada bencana, helinya bisa dipakai untuk kunjungan dinas. Tapi sekarang sudah tidak ada lagi,” jelasnya.

Ia menilai, pola kerja sama itu bisa dihidupkan kembali, bahkan dengan membuka ruang partisipasi dari sektor swasta. Pemanfaatan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dianggap sebagai opsi realistis agar kebutuhan helikopter darurat tidak sepenuhnya bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

“Kalau perlu, pakai CSR perusahaan-perusahaan besar. Jangan semuanya pakai APBD. Tapi yang penting, kita punya helikopter untuk kebutuhan darurat seperti ini,” tegasnya.

Selain mendorong pemerintah, Hasanuddin juga meminta media untuk memberi perhatian lebih terhadap isu Mahulu. Menurutnya, daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) sering kali luput dari pemberitaan, padahal memiliki tantangan yang lebih besar dibanding wilayah perkotaan.

“Saya harap teman-teman media juga bantu dorong. Mahulu ini sangat terpencil, kalau kita nggak punya helikopter, bagaimana bisa cepat tanggap? Padahal ini PR bersama, terutama untuk Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) juga,” tambahnya.

Dorongan tersebut sejalan dengan kebutuhan Mahulu untuk mendapat kebijakan afirmatif, baik dalam aspek transportasi, logistik, maupun penanganan bencana. Dengan medan yang berat, jalur perhubungan yang terbatas, serta ancaman krisis pangan, wilayah perbatasan seperti Mahulu membutuhkan perhatian ekstra. Hasanuddin menekankan, keberadaan helikopter bukan semata-mata soal kenyamanan, melainkan instrumen vital yang menentukan keselamatan dan ketahanan masyarakat di perbatasan.

Dengan begitu, ia berharap pemerintah provinsi segera merumuskan kebijakan strategis agar keterbatasan akses transportasi di Mahulu dapat ditangani, sekaligus memperkuat ketahanan nasional di wilayah paling luar. []

Penulis: Muhammaddong | Penyunting: Agnes Wiguna

Advertorial DPRD Kaltim