JAKARTA – Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset resmi masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2025–2026 setelah disahkan dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan keputusan tersebut, RUU tersebut akan berlanjut dalam tahap pembahasan hingga berpeluang menjadi undang-undang.
Meski semangat yang dibawa regulasi ini adalah untuk memperkuat pemberantasan korupsi sekaligus mengembalikan aset negara, sejumlah pihak menyoroti potensi penyalahgunaan beleid tersebut. Kekhawatiran utama ialah kemungkinan RUU dijadikan alat politik untuk menekan kelompok yang berbeda pandangan dengan pemerintah.
Salah seorang pegiat hukum yang dihubungi BBC News Indonesia menyampaikan, agar tidak disalahgunakan, “perlu proses penyusunan yang transparan sekaligus partisipatif dari publik.”
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Bob Hasan, menegaskan pembahasan RUU Perampasan Aset akan digelar secara terbuka. “Semua harus bisa diakses publik,” ujarnya. Senada, Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menyebutkan target pembahasan dijadwalkan setelah revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) rampung.
Sementara itu, Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, menjelaskan bahwa pemerintah menyerahkan sepenuhnya proses penyusunan kepada DPR. “Pemerintah tinggal menunggu hasil penyusunannya kemudian nanti presiden akan mengirimkan surpres [surat presiden],” tegasnya.
Sejumlah aktivis sipil menilai pembahasan RUU ini harus berjalan beriringan dengan RKUHAP, mengingat ada poin-poin yang saling bersinggungan. Mereka menekankan bahwa aturan baru tidak boleh menimbulkan tumpang tindih yang mengakibatkan ketidakpastian hukum.
RUU Perampasan Aset sejatinya bukan isu baru. Wacana serupa pernah digulirkan sejak 2004, di antaranya melalui usulan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Mantan Kepala PPATK pertama, Yunus Husein, mengingatkan pentingnya regulasi ini untuk mempermudah negara mengejar harta hasil tindak pidana, termasuk yang dilarikan ke luar negeri.
Namun, menurut pengamat politik Lucius Karus dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), lambannya pembahasan RUU ini erat kaitannya dengan kepentingan elite politik. “Dari dulu, saya kira, DPR itu tidak pernah ramah dengan RUU Perampasan Aset ini,” ujarnya.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Danang Widoyoko, turut memberikan catatan. Ia menekankan bahwa pengelolaan aset hasil rampasan harus dilakukan secara transparan, misalnya dengan model lelang terbuka seperti yang diterapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Danang juga mengingatkan bahwa RUU ini rawan dipakai sebagai instrumen politik bila tidak diharmonisasikan dengan undang-undang lain yang sudah ada.
Koalisi masyarakat sipil bahkan menyarankan agar RUU ini mencakup aturan tentang unexplained wealth atau harta yang asal-usulnya tidak dapat dijelaskan. Menurut mereka, langkah ini akan mempermudah aparat dalam membuktikan adanya tindak pidana korupsi.
Kini, publik menunggu konsistensi DPR dalam membuka ruang partisipasi masyarakat secara bermakna. Harapannya, pembahasan RUU Perampasan Aset tidak mengulang pengalaman sejumlah undang-undang kontroversial yang dinilai terburu-buru disahkan tanpa keterlibatan publik. []
Putri Aulia Maharani