JAKARTA – Di tengah sorotan tajam terhadap substansi Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), Komisi III DPR RI mengambil langkah proaktif dengan membuka ruang dialog lebih luas kepada kelompok masyarakat sipil, termasuk Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Organisasi bantuan hukum tersebut sebelumnya secara terbuka menyatakan penolakannya terhadap proses pembahasan RUU tersebut.
Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menyatakan bahwa pihaknya akan mengundang kembali YLBHI dalam forum pembahasan yang dijadwalkan berlangsung mulai Senin, (21/07/2025).
“Komisi III DPR akan mengundang kembali YLBHI sebagai elemen masyarakat yang meminta penghentian pembahasan RUU KUHAP,” tegasnya dalam keterangannya.
Langkah ini mencerminkan niat DPR untuk tidak hanya menyerap masukan dari kalangan yang mendukung, tetapi juga membuka ruang yang setara bagi mereka yang mengkritik substansi maupun proses legislasi.
Tak hanya YLBHI, Komisi III juga berencana melibatkan organisasi profesi hukum, termasuk para advokat yang menunjukkan dukungan terhadap pembahasan RUU KUHAP.
“Kami juga mempersilakan kepada masyarakat luas yang mau menyampaikan aspirasinya agar bisa mengajukan RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) di Komisi III,” ujar Habiburokhman, politisi Partai Gerindra.
RUU KUHAP menjadi salah satu pembahasan hukum paling krusial saat ini, karena menyangkut prosedur hukum pidana yang berlaku nasional. Namun di sisi lain, draf undang-undang ini juga menuai kritik dari berbagai pihak karena dianggap mengandung sejumlah pasal yang berpotensi melemahkan jaminan hak asasi tersangka dan terdakwa, serta berisiko melanggar prinsip fair trial atau persidangan yang adil.
Dalam kritik terbarunya, YLBHI menilai proses penyusunan dan pembahasan RUU KUHAP kurang melibatkan partisipasi publik secara substansial. Mereka juga mengusulkan agar DPR dan pemerintah menghentikan sementara pembahasan dan mengadakan konsultasi publik secara inklusif dan terbuka.
Habiburokhman menegaskan bahwa pihaknya tetap terbuka terhadap segala bentuk masukan, termasuk kritik tajam yang disampaikan oleh masyarakat sipil.
“Perlu digarisbawahi Komisi III adalah wakil rakyat yang harus mengayomi dan melayani semua elemen rakyat yang ingin menyampaikan aspirasi. Aspirasi mereka harus didengar, dipertimbangkan, dan sebisa mungkin diakomodir,” ujarnya.
Dengan langkah ini, DPR berusaha menunjukkan bahwa proses legislasi bukan hanya milik institusi formal negara, tetapi merupakan ruang demokrasi bersama yang membutuhkan keterlibatan aktif masyarakat. Bila forum dialog ini berjalan efektif, bukan tak mungkin pembahasan RUU KUHAP akan mengarah pada hasil yang lebih legitimate dan akuntabel. []
Diyan Febriana Citra.