Komisi XIII DPR RI Tolak Relokasi Warga dari Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo

Komisi XIII DPR RI Tolak Relokasi Warga dari Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo

JAKARTA – Polemik tata kelola kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Kabupaten Pelalawan, Riau, kembali menjadi sorotan publik setelah Komisi XIII DPR RI menyatakan sikap tegas menolak relokasi warga yang sudah lama bermukim di kawasan tersebut. Penolakan ini dianggap penting karena rencana pemindahan dinilai berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM).

Keputusan itu muncul dalam rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar Senin (29/09/2025), di mana Komisi XIII membahas dugaan pelanggaran HAM yang mencuat dari konflik agraria di TNTN.

“Komisi XIII DPR RI menolak relokasi warga di kawasan TNTN Provinsi Riau karena melanggar HAM,” ujar Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Sugiat Santoso, saat membacakan kesimpulan rapat.

Tidak hanya menolak relokasi, Komisi XIII juga meminta agar Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) tidak melibatkan aparat keamanan seperti TNI dan Polri untuk berhadapan langsung dengan masyarakat. Menurut DPR, pendekatan represif justru akan memperuncing konflik. Sebagai gantinya, koordinasi lintas lembaga dinilai mutlak diperlukan.

Dalam kesimpulannya, Komisi XIII merekomendasikan agar Kementerian Hukum dan HAM memimpin koordinasi bersama Komnas HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), serta institusi lain.

“Untuk memastikan penyelesaian atas dugaan pelanggaran HAM yang terjadi dalam konflik tata kelola hutan dan pertahanan di Provinsi Riau,” kata Sugiat.

Langkah berikutnya, DPR RI berencana membentuk Panitia Khusus (Pansus) pada Sidang Paripurna 2 Oktober 2025 guna menindaklanjuti permasalahan ini.

“Kami berkomitmen mengawal serius implementasi penelitian permasalahan pelanggaran HAM yang dipimpin KemenHAM dan penelitian permasalahan hukum terkait kepemilikan tanah atau hutan di Riau melalui Pansus Penyelesaian Konflik Agraria DPR RI,” imbuh Sugiat.

Konflik agraria di TNTN sudah berlangsung lama. Data menunjukkan bahwa luas kawasan hutan yang pada 2014 mencapai 81.739 hektar kini berkurang drastis akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit. Kementerian Kehutanan mencatat sekitar 40.000 hektar di antaranya dibuka dan ditanami sawit secara ilegal.

Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Kehutanan, Dwi Januanto Nugroho, menegaskan bahwa TNTN merupakan salah satu program prioritas Presiden dalam pemulihan kawasan hutan.

“TNTN menjadi target strategis Presiden dalam program pemulihan kawasan hutan, yang hasil awalnya akan diumumkan pada 17 Agustus 2025. Kami didukung oleh seluruh elemen, termasuk eselon I Kemenhut, untuk merehabilitasi kawasan hutan dengan pendekatan komprehensif dan humanis,” ujarnya pada Juni lalu.

Namun, kenyataan di lapangan tidak sesederhana itu. Banyak warga yang telah tinggal lebih dari dua dekade di kawasan TNTN dengan membawa bukti kepemilikan tanah yang sah. Mereka menolak disebut sebagai perambah, melainkan korban dari ketidakjelasan tata kelola lahan.

Polemik ini memperlihatkan betapa kompleksnya persoalan agraria di Indonesia, di mana kepentingan pelestarian lingkungan seringkali berbenturan dengan hak hidup masyarakat yang sudah lama bermukim di suatu wilayah. []

Diyan Febriana Citra.

Nasional