SEOUL – Pemerintah Korea Selatan mulai mengambil langkah konkret untuk menciptakan suasana yang lebih kondusif di kawasan Semenanjung Korea. Salah satu tindakan simbolis namun sarat makna adalah pencabutan pengeras suara di sepanjang zona perbatasan, yang selama ini digunakan untuk menyiarkan propaganda anti-Korea Utara.
Langkah tersebut dimulai pada Senin (04/08/2025), seiring upaya pemerintahan Presiden Lee Jae Myung dalam mendorong perbaikan hubungan dengan Pyongyang. Kementerian Pertahanan Korea Selatan mengonfirmasi bahwa pencabutan perangkat audio ini dilakukan sebagai bentuk “langkah praktis untuk membantu meredakan ketegangan antara Selatan dan Utara”.
Kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari instruksi langsung Presiden Lee yang tak lama setelah dilantik pada Juni 2025 lalu, memerintahkan militer mematikan seluruh siaran propaganda yang mengarah pada rezim Korea Utara.
Meskipun Seoul telah menunjukkan gestur terbuka, tanggapan dari Korea Utara sejauh ini masih negatif. Pyongyang secara terang-terangan menolak tawaran dialog dan menyatakan bahwa tidak ada alasan untuk berbicara dengan Korea Selatan.
“Korea Utara: Tak ada alasan berdialog dengan Korea Selatan,” begitu bunyi pernyataan resmi dari pemerintah Pyongyang seperti dilansir media setempat. Penolakan ini mencerminkan masih lebarnya jurang ketidakpercayaan yang memisahkan dua negara yang secara teknis masih dalam keadaan perang, meski Perang Korea (1950–1953) telah berakhir lewat perjanjian gencatan senjata.
Siaran propaganda selama ini diputar menggunakan pengeras suara raksasa yang diarahkan langsung ke wilayah Korea Utara. Materi siaran berisi musik pop Korea Selatan, berita internasional, hingga kritik terhadap pemimpin Korea Utara. Siaran tersebut sering kali memicu ketegangan dan adu balas siaran dari pihak Korea Utara.
Dengan mengakhiri siaran itu, Seoul tidak hanya mengurangi potensi provokasi militer, tetapi juga mengirimkan pesan bahwa Korea Selatan masih membuka pintu untuk diplomasi.
“Pencabutan pengeras suara ini menjadi simbol bahwa kami ingin memulai kembali dengan pendekatan yang lebih damai,” ujar seorang pejabat kementerian pertahanan, yang enggan disebut namanya.
Meski niat baik sudah ditunjukkan, respons negatif dari Korea Utara memperlihatkan bahwa upaya rekonsiliasi masih akan menghadapi jalan terjal. Namun bagi Korea Selatan, pendekatan damai tetap menjadi pilihan utama, bukan hanya demi keamanan kawasan, tetapi juga demi masa depan hubungan dua bangsa yang memiliki sejarah dan budaya yang sama.
Banyak pihak menilai bahwa langkah ini, meskipun kecil, menjadi sinyal penting bahwa Seoul ingin menggeser fokus dari konflik ke kolaborasi. Kini, semua mata tertuju pada bagaimana Korea Utara akan menanggapi langkah-langkah lanjutan dari pemerintahan Lee Jae Myung. []
Diyan Febriana Citra,