JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus memperdalam penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan perlengkapan rumah dinas anggota DPR tahun anggaran 2020. Dalam tahap terbaru, lembaga antirasuah tersebut melibatkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk membantu menghitung secara akurat besaran potensi kerugian keuangan negara.
Langkah ini menunjukkan komitmen KPK memperkuat dasar pembuktian melalui pendekatan audit investigatif sebelum melangkah lebih jauh dalam proses hukum.
“Kedua saksi hadir. Pemeriksaan dilakukan oleh Tim BPKP dalam rangka menghitung kerugian negaranya,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, Selasa (21/10/2025).
Dua saksi yang dimintai keterangan yakni Sri Wahyu Budhi Lestari, Kepala Bagian Pengadaan Barang dan Jasa Sekretariat Jenderal DPR, serta Hipni Hidupati, mantan Kepala Bagian Pengelolaan Rumah Jabatan DPR RI periode 2019–2022. Keduanya dinilai memiliki peran penting dalam proses pengadaan dan pengelolaan fasilitas rumah dinas yang kini diselidiki.
KPK sebelumnya telah menetapkan Sekretaris Jenderal DPR RI, Indra Iskandar, bersama sejumlah pejabat dan pihak swasta lain sebagai tersangka. Mereka antara lain Hipni Hidupati, Tanti Nugroho, Juanda Hasurungan Sidabutar, Kibun Roni, Andrias Catur Prasetya, dan Edwin Budiman.
Seluruh tersangka diduga melakukan perbuatan melanggar hukum dengan menyalahgunakan kewenangan hingga menimbulkan kerugian keuangan negara.
Dalam surat perintah penyidikan bernomor Sprin.Dik/13/DIK.00/01/01/2024, tertanggal 19 Januari 2024, KPK menyebut para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Sumber internal menyebutkan, pemeriksaan oleh BPKP kali ini menjadi bagian penting dalam pembuktian karena akan menentukan nilai pasti kerugian yang dialami negara. Hasil perhitungan BPKP nantinya akan digunakan sebagai dasar penguatan berkas perkara sebelum KPK melimpahkan kasus ini ke tahap penuntutan.
Langkah kolaboratif antara KPK dan BPKP ini juga dinilai sebagai bentuk transparansi sekaligus upaya memperbaiki sistem pengadaan barang dan jasa di lingkungan legislatif. Kasus ini menjadi perhatian publik lantaran menyangkut penggunaan anggaran negara untuk kebutuhan fasilitas pejabat, yang seharusnya dilakukan secara akuntabel dan efisien.
Dalam kesempatan terpisah, sejumlah pemerhati antikorupsi mendorong agar KPK tidak hanya fokus pada aspek pidana, tetapi juga mengevaluasi sistem pengawasan internal DPR. Mereka menilai praktik korupsi dalam pengadaan fasilitas rumah jabatan harus dijadikan momentum untuk memperkuat tata kelola keuangan negara di lembaga legislatif. []
Diyan Febriana Citra.