JAKARTA — Upaya pemberantasan korupsi di sektor pendidikan tengah menunjukkan dinamika baru. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung saat ini sama-sama menyelidiki dugaan korupsi di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), yang melibatkan proyek-proyek digitalisasi pendidikan dengan nilai besar dan cakupan luas.
Pada Rabu (30/07/2025), KPK memanggil Fiona Handayani, mantan staf khusus Menteri Nadiem Makarim, sebagai bagian dari penyelidikan kasus dugaan korupsi penggunaan layanan Google Cloud di lingkungan Kemendikbudristek. Pemeriksaan ini merupakan bagian dari proses klarifikasi awal dalam tahap penyelidikan.
“Benar, ada pemeriksaan tersebut,” ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, saat dikonfirmasi di Jakarta. Namun demikian, ia belum bisa menyampaikan detail lebih lanjut karena status kasusnya masih berada pada tahap penyelidikan, bukan penyidikan.
Kasus Google Cloud ini disebut-sebut berkaitan dengan proyek pengadaan layanan komputasi awan yang terintegrasi dalam program digitalisasi pendidikan. Selain itu, KPK juga mengonfirmasi sedang menyelidiki dugaan korupsi dalam pengadaan kuota internet gratis bagi pelajar yang dilakukan selama masa pandemi.
Penyelidikan KPK berjalan paralel dengan pengusutan Kejaksaan Agung terhadap dugaan korupsi dalam pengadaan perangkat Chromebook yang dilaksanakan dalam periode 2019 hingga 2022. Meski tampak serupa dari sisi bidang teknologi pendidikan, KPK menegaskan bahwa kasus Google Cloud dan kuota internet merupakan perkara berbeda dari kasus Chromebook yang ditangani Kejagung.
Kejaksaan Agung telah melangkah lebih jauh dengan menetapkan empat tersangka dalam perkara Chromebook senilai Rp9,9 triliun. Mereka adalah Jurist Tan (mantan staf khusus Menteri Nadiem), Ibrahim Arief (eks konsultan teknologi), Sri Wahyuningsih (eks Direktur Sekolah Dasar Kemendikbudristek), dan Mulyatsyah (eks Direktur Sekolah Menengah Pertama Kemendikbudristek).
Kasus-kasus ini menguak sisi gelap dari program digitalisasi pendidikan yang sejak awal digadang-gadang sebagai lompatan besar dalam modernisasi sektor pendidikan nasional. Proyek bernilai triliunan rupiah itu kini tengah disorot bukan karena keberhasilannya, melainkan potensi penyelewengan yang mencoreng reformasi pendidikan.
Sejumlah pihak menilai, tumpang tindih program dan minimnya akuntabilitas menjadi celah yang membuka peluang bagi praktik korupsi. Apalagi, keterlibatan berbagai pihak eksternal dan pengadaan lintas kementerian kerap menyulitkan pengawasan.
Saat ini, masyarakat menantikan bagaimana kedua institusi penegak hukum tersebut mengurai benang kusut dugaan korupsi yang melibatkan teknologi dalam dunia pendidikan. Hasil dari proses ini diharapkan mampu menjadi pelajaran penting bagi perencanaan dan pengawasan anggaran pendidikan ke depan. []
Diyan Febriana Citra.