JAKARTA – Upaya pembenahan institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia kembali memasuki fase penting. Komisi Percepatan Reformasi Polri (KPRP) dijadwalkan menggelar rapat pleno pada Kamis (18/12/2025) sebagai tindak lanjut dari rangkaian penjaringan aspirasi publik yang telah dilakukan dalam beberapa pekan terakhir. Forum ini diharapkan menjadi titik awal perumusan arah kebijakan reformasi Polri yang lebih konkret dan terukur.
Ketua Tim Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie, menjelaskan bahwa rapat pleno akan difokuskan pada proses penyaringan dan perumusan berbagai usulan yang telah diterima, baik dari masyarakat sipil maupun lembaga negara.
“Besok (hari ini) itu hari Kamis itu adalah rapat pleno. Di mana kami sudah mulai memilah dan memilih usul kebijakan reformasi struktural, kultural, dan instrumental yang tepat untuk Polri ke depan,” ujar Jimly usai beraudiensi dengan sejumlah lembaga nonpemerintah di Kantor Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, Rabu (17/12/2025).
Menurut Jimly, evaluasi menyeluruh terhadap regulasi menjadi salah satu agenda utama tim. Tidak hanya peraturan internal kepolisian, tetapi juga peraturan perundang-undangan yang selama ini menjadi landasan kerja Polri.
“Undang-undang maupun juga Perpol (Peraturan Kepolisian), kita evaluasi. Kemungkinan kita usulkan, laporkan kepada Presiden menjadi agenda reformasi menyeluruh tentang Polri di masa depan,” sambung dia.
Ia mengungkapkan, tahapan kerja tim telah disusun secara bertahap. Pada bulan kedua masa kerja, fokus diarahkan pada penarikan kesimpulan dari seluruh masukan yang diterima. Selanjutnya, pada bulan ketiga, tim akan mulai menyusun draf rekomendasi kebijakan. Rekomendasi tersebut tidak hanya menyasar pembenahan internal institusi Polri, tetapi juga mencakup usulan perubahan regulasi eksternal, termasuk revisi Undang-Undang Polri.
“Bulan ketiga kira-kira kita melakukan drafting. Drafting rekomendasi ke dalam, dan drafting rekomendasi keluar untuk merevisi Undang-Undang Polri,” ujar Jimly. Ia menegaskan bahwa rekomendasi yang disusun akan bersifat aplikatif dan siap dilaksanakan. “Supaya melapor ke Presiden bukan kertas kerja yang memerlukan seminar lagi. Enggak usah. Jadi kebijakannya konkret,” kata Jimly.
Dalam konteks tersebut, Jimly menyebut adanya peluang penyusunan rekomendasi dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP). Langkah ini sejalan dengan keinginan Presiden Prabowo Subianto yang mengharapkan kebijakan reformasi tidak berhenti pada tataran wacana. Bahkan, metode omnibus juga dipertimbangkan untuk mengharmoniskan pelaksanaan sejumlah undang-undang yang saling terkait.
“Jadi kita merancang rekomendasi ke dalam dan dalam bentuk UU, dan bila perlu PP. Kalau kita menggunakan metode omnibus, itu bukan hanya membentuk UU, tapi juga sudah diadopsi di UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3),” ungkap Jimly.
Ia mencontohkan persoalan penempatan anggota Polri di berbagai kementerian dan lembaga negara yang selama ini kerap menuai polemik. Menurutnya, isu lintas sektor semacam itu tidak cukup diatur melalui Perpol semata.
“Perpol itu menurut pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan sifatnya hanya mengatur administrasi internal. Jadi kita perlu PP yang mengintegrasikan semua kebijakan itu sehingga apa yang keliru dari Perpol kita perbaiki di PP,” terang dia.
Jimly juga menegaskan bahwa masukan publik yang diterima tim cukup beragam dan komprehensif. Lebih dari 80 kelompok telah menyampaikan pandangan, mulai dari lembaga independen seperti Komnas HAM, Komnas Anak, dan Dewan Pers, hingga akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan tokoh daerah. Tim pun melakukan kunjungan ke sejumlah wilayah, seperti Aceh dan Balikpapan, untuk memastikan perspektif daerah turut terakomodasi.
“Supaya kita jangan nanti dianggap hanya mendapat masukan dari pusat. Ini semua masukan sudah kami anggap cukup lengkap untuk mulai kami diskusikan (pada rapat pleno),” kata Jimly. []
Diyan Febriana Citra.

