JAKARTA – Hubungan antara Republik Islam Iran dan Amerika Serikat (AS) kembali berada dalam fase kritis pada 2025, menyusul serangan militer AS terhadap sejumlah fasilitas nuklir Iran. Ketegangan ini merupakan kelanjutan dari konflik panjang yang telah membayangi kedua negara selama lebih dari tujuh dekade.
Akar permusuhan antara Iran dan AS dapat ditelusuri ke peristiwa kudeta tahun 1953. Saat itu, Badan Intelijen Pusat Amerika (CIA) bersama dinas intelijen Inggris diduga kuat mendalangi penggulingan Perdana Menteri Iran Mohammad Mossadegh, yang sebelumnya berupaya menasionalisasi industri minyak Iran. Kudeta tersebut mengembalikan kekuasaan kepada Shah Mohammad Reza Pahlavi dan memperkuat kedekatan Iran dengan Barat, khususnya AS.
Selama dua dekade setelah kudeta, AS menjadikan Iran sebagai sekutu utama di Timur Tengah untuk membendung pengaruh Uni Soviet. Dukungan AS mencakup bantuan ekonomi, militer, hingga program nuklir sipil melalui inisiatif “Atoms for Peace”. Pada masa itu, militer Iran bahkan diperkuat dengan jet tempur F-14 Tomcat dan sistem persenjataan mutakhir buatan Amerika.
Namun, hubungan tersebut terputus secara dramatis ketika Revolusi Islam 1979 menggulingkan Shah dan membawa Ayatollah Ruhollah Khomeini ke tampuk kekuasaan. Iran kemudian berubah menjadi negara berbasis sistem teokrasi Islam yang bersikap anti-Barat. Situasi memanas seiring krisis penyanderaan di Kedutaan Besar AS di Teheran, yang berlangsung dari 1979 hingga 1981, dan berujung pada putusnya hubungan diplomatik secara resmi antara kedua negara.
Sejak itu, rangkaian konflik antara Iran dan AS terus berulang dalam bentuk sanksi ekonomi, insiden militer, hingga perang proksi di wilayah Timur Tengah. Putusnya hubungan Iran dengan Israel, sekutu utama AS, juga memperluas spektrum konflik geopolitik yang melibatkan kedua negara.
Dengan latar belakang sejarah yang kompleks dan saling curiga yang telah mengakar, konflik Iran dan AS sulit diakhiri hanya dengan diplomasi singkat. Langkah-langkah militer seperti yang terjadi pada 2025 justru berisiko memperpanjang ketegangan dan menambah ketidakstabilan kawasan, terutama jika menyangkut isu strategis seperti pengayaan uranium dan kontrol terhadap Selat Hormuz.[]
Putri Aulia Maharani