JAKARTA — Sengketa informasi publik terkait ijazah Presiden ke-7 RI Joko Widodo kembali berlanjut di meja sidang Komisi Informasi (KI) Pusat. Sidang yang digelar pada Selasa (28/10/2025) tersebut menjadi babak baru setelah proses mediasi sebelumnya dinyatakan gagal mencapai kesepakatan.
Dalam sidang yang dimulai sekitar pukul 11.30 WIB itu, majelis hakim yang dipimpin oleh Syawaludin memeriksa bukti-bukti dari kedua belah pihak, yakni pemohon Bonatua Silalahi dan termohon Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
“Mengingat mediasi yang dilakukan gagal, dengan demikian sidang dilanjutkan ajudikasi non-litigasi. Pembuktian dari para pihak baik pemohon maupun termohon,” ujar Syawaludin di persidangan.
Kedua kubu menyerahkan beragam dokumen, mulai dari pasal-pasal peraturan perundang-undangan, surat jawaban lembaga negara, hingga tanggapan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengenai keberadaan dokumen ijazah Presiden Jokowi.
“Alat bukti telah diterima majelis dan telah dicatat juga ya,” tambah Syawaludin menegaskan jalannya proses pembuktian.
Bonatua Silalahi, selaku pihak pemohon, berencana menghadirkan dua saksi ahli dalam sidang berikutnya. Mereka adalah pakar telematika Roy Suryo dan mantan Ketua KI Provinsi DKI Jakarta Yulianto Widirahardjo, yang dinilai memiliki kapasitas untuk memberikan pandangan teknis maupun regulatif atas permintaan informasi publik ini.
Sebelumnya, pada Kamis (23/10/2025), mediasi antara Bonatua dan ANRI dinyatakan tidak berhasil. Bonatua menilai ANRI belum mampu menunjukkan dokumen yang seharusnya dikelola berdasarkan aturan kearsipan nasional.
“Jadi tadi memang dari mediasi kita, ternyata ANRI masih belum menguasai (ijazah Jokowi) yang sebenarnya harusnya ada di mereka, dan mereka menyebut bahwa ijazah itu masih dikuasai oleh KPU,” kata Bonatua usai mediasi.
Menurut Bonatua, pihaknya telah dihubungi oleh KPU dan dijanjikan salinan ijazah Jokowi yang digunakan saat mendaftar sebagai calon presiden pada 2014. Namun, ia menegaskan bahwa dokumen itu belum memenuhi standar arsip primer sebagaimana diatur dalam undang-undang.
“Saya bilang iya, karena apa? Karena berdasarkan undang-undang kearsipan, seharusnya yang saya terima itu adalah data primer. Itu sudah harus di ANRI. Jadi posisinya itu seharusnya di ANRI,” tuturnya.
Sidang yang digelar KI Pusat ini menandai pentingnya transparansi data publik dan tata kelola arsip negara. Dalam konteks hukum, ajudikasi non-litigasi menjadi jalur resmi bagi warga negara untuk memperoleh kejelasan atas informasi yang dianggap terbuka bagi publik, termasuk dokumen resmi kenegaraan.
Meski polemik terkait ijazah Jokowi telah beberapa kali muncul di ruang publik, sidang di KI Pusat menekankan aspek legal formal yang bertujuan memastikan hak masyarakat terhadap keterbukaan informasi berjalan sesuai prosedur. []
Diyan Febriana Citra.

