JAKARTA — Peringatan Hari Raya Natal 2025 menjadi ruang refleksi moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Di tengah suasana sukacita perayaan kelahiran Kristus, Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo menyampaikan pesan keras terkait maraknya praktik korupsi yang melibatkan pejabat publik di berbagai daerah.
Usai memimpin Misa Natal di Gereja Katedral, Jakarta Pusat, Kamis (25/12/2025), Kardinal Suharyo menegaskan bahwa jabatan publik sejatinya merupakan amanah untuk melayani dan menyejahterakan masyarakat. Namun, realitas yang terjadi justru menunjukkan banyak pejabat yang terjerat kasus hukum akibat penyalahgunaan kekuasaan.
“Hari-hari ini kita disuguhi berita bupati ditangkap KPK, gubernur ini ditangkap, dan sebagainya. Ini artinya jabatan mereka tidak digunakan untuk mewujudkan kebaikan bersama. Mereka harus bertaubat,” ujar Kardinal Suharyo.
Dalam pandangannya, fenomena tersebut mencerminkan persoalan mendasar dalam cara pandang sebagian pejabat terhadap kekuasaan. Ia menilai terdapat pergeseran nilai, di mana jabatan lebih dipahami sebagai sarana memperoleh kenyamanan dan fasilitas, bukan sebagai tanggung jawab moral untuk mengabdi kepada rakyat.
Kardinal Suharyo kemudian membedakan secara tegas antara pejabat yang sekadar “menduduki” jabatan dengan mereka yang benar-benar
“memangku” jabatan. Menurutnya, pejabat yang hanya menduduki jabatan cenderung menikmati keuntungan personal tanpa kesadaran akan tanggung jawab sosial yang melekat.
Sebaliknya, mereka yang memangku jabatan memahami kekuasaan sebagai titipan yang harus dijalankan sepenuh hati demi kepentingan bersama.
“Harapannya, pejabat tidak sekadar menduduki kursi, karena duduk di kursi itu memang enak. Tetapi, mereka harus mengemban amanah. Jika jabatan digunakan untuk kepentingan sendiri, itu salah. Jabatan harus dipangku demi kebaikan bersama,” tegasnya.
Pesan moral tersebut disampaikan Kardinal Suharyo dengan latar belakang situasi sosial-politik yang menurutnya memerlukan perhatian serius. Ia menyinggung kembali kerusuhan yang terjadi di Jakarta pada Agustus lalu, yang dinilainya sebagai bagian dari rangkaian gejala krisis moral yang lebih luas.
Menurut Suharyo, maraknya korupsi dan gejolak sosial menjadi pertanda bahwa bangsa Indonesia membutuhkan perubahan mendasar, bukan sekadar solusi teknis atau hukum semata. Ia menyebut kondisi tersebut sebagai panggilan untuk melakukan pembenahan batin secara kolektif.
Dalam konteks itu, Kardinal Suharyo menyerukan apa yang ia sebut sebagai “Pertaubatan Nasional”. Seruan ini dimaknai sebagai upaya bersama untuk kembali pada nilai-nilai luhur yang menjadi dasar berdirinya bangsa, sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Ia menekankan bahwa pertaubatan tidak boleh berhenti pada simbol atau seremoni keagamaan, melainkan harus diwujudkan dalam perubahan sikap hidup yang nyata, khususnya bagi para pemegang kekuasaan.
Seruan tersebut tidak hanya ditujukan kepada pejabat negara, tetapi juga kepada seluruh lapisan masyarakat, tanpa terkecuali. Kardinal Suharyo menegaskan bahwa tanggung jawab moral menjaga arah bangsa merupakan tugas bersama.
“Semua mesti bertaubat untuk mengembalikan cita-cita kemerdekaan kita. Dasarnya adalah pertaubatan batin, memuliakan Allah, dan membaktikan hidup bagi Tuhan,” pungkas Suharyo menutup pesan Natalnya.
Pesan Natal ini sekaligus menjadi pengingat bahwa perayaan keagamaan memiliki dimensi sosial yang kuat, terutama dalam mendorong keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab dalam kehidupan publik. []
Diyan Febriana Citra.

