JAKARTA — Gencatan senjata antara Iran dan Israel resmi berlaku setelah berlangsungnya konflik bersenjata selama 12 hari. Meski pertempuran langsung telah dihentikan, berbagai pihak mempertanyakan apakah gencatan senjata ini benar-benar mengakhiri ketegangan, atau sekadar menjadi jeda sementara sebelum pecahnya konflik baru.
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menyebut konflik ini sebagai “Perang 12 Hari”. Masing-masing pihak mengklaim kemenangan usai pertempuran mereda. Iran merayakan “kemenangan besar” di jalan-jalan, menggambarkan perlawanan mereka sebagai tindakan heroik. Sementara itu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengklaim keberhasilan tersebut sebagai “kemenangan untuk generasi mendatang.”
Media Al Jazeera menyebut bahwa Israel berhasil menghancurkan sejumlah target militer penting di wilayah Iran. Namun, pernyataan Amerika Serikat yang menyatakan fasilitas nuklir bawah tanah Iran telah sepenuhnya hancur, belum dapat dibuktikan secara independen. Verifikasi di lokasi dibutuhkan untuk menguatkan klaim tersebut.
Iran, meski mengalami kerusakan akibat serangan, dinilai berhasil mengubah peta strategi keamanan kawasan. Dengan melancarkan serangan langsung melalui rudal dan drone, Iran menunjukkan perubahan pendekatan dari peran sebagai pendukung proksi menjadi pelaku konfrontasi langsung. Ini menandai berakhirnya dominasi perang bayangan dan dimulainya potensi konflik terbuka antarnegara.
Para pengamat memperingatkan bahwa gencatan senjata ini belum menyentuh akar persoalan, terutama terkait program nuklir Iran yang kontroversial. Ali Ansari, profesor sejarah Iran dari Universitas St Andrews, mengatakan bahwa arah kebijakan Teheran ke depan akan sangat tergantung pada dinamika politik dalam negeri.
“Sudah ada seruan untuk menghentikan pengayaan uranium dari para aktivis di dalam negeri,” ujar Ansari kepada Al Jazeera.
Isu program nuklir ini menjadi titik sentral dalam diplomasi internasional ke depan. Para analis menyebut ada dua kemungkinan arah kebijakan: pertama, inspeksi dari PBB terhadap fasilitas nuklir Iran, yang bisa membuka jalan kembali ke skema JCPOA (Rencana Aksi Komprehensif Bersama) seperti yang pernah digagas Presiden AS Barack Obama pada 2015. Kedua, skenario lebih keras, yakni kemungkinan serangan militer lanjutan terhadap situs nuklir Iran.
Beberapa negara Eropa seperti Inggris, Prancis, dan Jerman telah melakukan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, serta kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Kaja Kallas. Upaya ini bertujuan meredakan ketegangan dan mencegah intervensi militer lanjutan dari AS atau Israel. Namun, hingga kini, belum ada hasil konkret yang tercapai.
“Iran akan mencoba melibatkan Eropa secara diplomatis dengan mengusulkan peningkatan pemantauan dan membuat komitmen dalam program nuklirnya,” ungkap Ioannis Kotoulas, dosen geopolitik Universitas Athena.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, menyatakan bahwa pihaknya bisa menerima program nuklir damai selama tidak bertujuan militer. Namun, banyak pihak tetap meragukan kesediaan AS untuk menahan diri dari langkah koersif.
“Eropa sekarang menjadi satu-satunya jalan keluar bagi Iran. Rusia tidak dapat diandalkan,” tambah Kotoulas.
Di tengah belum jelasnya kesepakatan damai, kawasan Timur Tengah tetap berada dalam ketidakpastian. Ancaman perang terbuka belum sepenuhnya sirna, dan masa depan hubungan Iran-Israel serta stabilitas regional masih sangat bergantung pada diplomasi dan dinamika internal kedua negara.[]
Putri Aulia Maharani