JAKARTA – Wacana perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah kembali mencuat di ruang publik setelah sejumlah partai politik besar menyatakan dukungan agar pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota dilakukan melalui DPRD. Meski demikian, Komisi II DPR RI menegaskan bahwa hingga akhir Desember 2025, pembahasan resmi terkait revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada belum dimulai.
Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf Macan Effendi, menyatakan bahwa baik di tingkat pimpinan maupun internal fraksi Komisi II, belum ada agenda khusus untuk membahas revisi aturan tersebut. Ia menegaskan bahwa dinamika politik yang berkembang masih berada pada tahap wacana dan belum masuk ke proses legislasi formal.
“Belum (ada pembahasan di tingkat pimpinan maupun fraksi di Komisi II DPR),” ujarnya saat dikonfirmasi Selasa (30/12/2025).
Menurut Dede, Komisi II saat ini masih mencermati berbagai pandangan yang berkembang, baik dari internal partai politik maupun dari kelompok masyarakat sipil. Ia menyebutkan bahwa aspirasi publik menjadi salah satu faktor penting sebelum parlemen mengambil langkah lebih lanjut terkait perubahan sistem pemilihan kepala daerah.
“Kita tunggu masukan pimpinan partai dan juga masyarakat,” kata dia.
Pernyataan tersebut menunjukkan kehati-hatian DPR dalam merespons isu yang dinilai sensitif dan berdampak langsung pada sistem demokrasi di Indonesia. Dede menilai bahwa perubahan mekanisme Pilkada tidak bisa dilakukan secara tergesa-gesa, mengingat pengalaman panjang pelaksanaan Pilkada langsung yang telah berlangsung lebih dari satu dekade.
Lebih lanjut, Dede Yusuf menjelaskan bahwa apabila revisi Undang-Undang Pilkada pada akhirnya benar-benar dibahas, maka proses tersebut kemungkinan dilakukan setelah penyelesaian revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dengan demikian, pembahasan Pilkada tidak akan dilakukan secara bersamaan dengan revisi regulasi pemilu nasional.
“Kalau (RUU Pilkada) masuk prolegnas 2016, kemungkinan Maret-April,” ucapnya.
Di sisi lain, wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD mendapat dukungan terbuka dari sejumlah partai politik besar di parlemen. Partai Gerindra, Golkar, PKB, dan PAN menyatakan sikap sejalan terkait gagasan tersebut. Wacana ini pertama kali disampaikan oleh Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, dan kemudian mendapatkan respons positif dari partai-partai lain.
Namun, dukungan tersebut juga menuai kritik dari berbagai elemen masyarakat sipil. Sejumlah organisasi dan pengamat demokrasi menilai bahwa pengembalian Pilkada ke DPRD berpotensi menjadi kemunduran demokrasi, karena mengurangi partisipasi langsung rakyat dalam memilih pemimpin daerahnya.
Komisi II DPR menyadari adanya pro dan kontra yang kuat dalam isu ini. Oleh karena itu, Dede menekankan bahwa DPR tidak akan mengabaikan suara publik. Menurutnya, setiap perubahan undang-undang harus didasarkan pada kajian komprehensif, evaluasi pelaksanaan Pilkada sebelumnya, serta pertimbangan dampak jangka panjang terhadap tata kelola pemerintahan daerah.
Hingga kini, belum ada keputusan politik yang mengikat terkait arah revisi UU Pilkada. DPR masih menunggu perkembangan lebih lanjut, termasuk sikap resmi pimpinan partai politik dan hasil dialog dengan masyarakat. Dengan kondisi tersebut, masa depan mekanisme pemilihan kepala daerah masih terbuka dan akan sangat ditentukan oleh dinamika politik serta respons publik dalam beberapa bulan ke depan. []
Diyan Febriana Citra.

