JAKARTA – Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, melaporkan serangkaian dugaan teror yang menimpa dirinya dan lembaganya ke Polda Metro Jaya. Laporan itu teregister dengan nomor LP/B/6318/IX/SPKT POLDA METRO JAYA tertanggal 9 September 2025, dengan sangkaan Pasal 363 KUHP dan/atau Pasal 170 KUHP dan/atau Pasal 406 KUHP.
Ardi menjelaskan, rangkaian serangan yang dialami sudah berlangsung sejak Desember 2024. Bentuknya beragam, mulai dari perusakan mobil, penguntitan, hingga hilangnya dokumen penting milik organisasi. Peristiwa terakhir terjadi pada Senin (08/09/2025) malam, ketika mobilnya dibobol di kawasan Jatiasih, Kota Bekasi.
“Kemudian yang terakhir ini adalah juga perusakan terhadap mobil saya. Dan beberapa kawan-kawan di Imparsial, staf kami yang lain juga mengalami penguntitan, pemberhentian di tengah jalan dalam beberapa rentang waktu satu tahun belakangan ini,” ungkap Ardi kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Selasa (09/09/2025).
Ardi menegaskan bahwa tidak ada barang berharga pribadi yang raib dalam insiden tersebut. Namun, dokumen yang berkaitan dengan aktivitas Imparsial justru dibawa pelaku.
“Itu dokumen aktivitas kegiatan yang kalau jatuh di tangan pencuri, itu nggak ada gunanya. Tapi kalau jatuh di tangan orang yang memang punya niat untuk melemahkan kerja-kerja kami, itu mungkin berguna,” tambahnya.
Meski enggan menunjuk pihak tertentu, Ardi menduga rangkaian teror ini berkaitan dengan sikap kritis Imparsial terhadap sejumlah isu nasional, terutama yang menyangkut demokrasi, hak asasi manusia, dan reformasi sektor keamanan.
“Kami menganggap ini adalah serangan terhadap kerja-kerja kami sebagai pembela hak asasi manusia yang menyuarakan isu terkait demokrasi, reformasi sektor keamanan, HAM. Maka, setelah berdiskusi dengan kawan-kawan di kantor kami memutuskan untuk melaporkan hal ini kepada pihak kepolisian,” jelasnya.
Selain membuat laporan resmi, pihaknya juga menyerahkan sejumlah barang bukti yang diharapkan dapat memperkuat proses penyelidikan. Ardi menekankan pentingnya polisi mengusut kasus ini secara serius, bukan hanya untuk menangkap pelaku di lapangan, tetapi juga mengungkap motif di balik aksi teror tersebut.
“Agar selain pelakunya itu ditangkap juga kami ingin mengetahui apa namanya motif, apa sebetulnya latar belakang dari serangan yang begitu masif terhadap kami belakangan ini. Dan ini juga tidak hanya dialami oleh Imparsial sebetulnya, kawan-kawan di NGO (non-governmental organization), aktivis yang lain juga mengalami hal yang serupa,” pungkasnya.
Kasus ini menambah catatan panjang risiko yang dihadapi pegiat HAM di Indonesia. Situasi tersebut sekaligus menjadi pengingat bahwa perlindungan hukum terhadap aktivis sipil sangat mendesak, terlebih ketika kritik terhadap negara kerap dibalas dengan bentuk-bentuk intimidasi yang mengancam keselamatan. []
Diyan Febriana Citra.