JAKARTA — Raksasa kopi global Starbucks kembali menghadapi ujian berat menjelang musim liburan, periode yang biasanya menjadi puncak penjualan tahunan. Di tengah upaya pemulihan bisnis, perusahaan asal Amerika Serikat (AS) itu kini dihadapkan pada ancaman pemogokan terbuka oleh para baristanya sendiri.
Serikat pekerja Starbucks Workers United mengumumkan pada Rabu (06/11/2025) bahwa para pekerja siap melakukan aksi mogok nasional jika kesepakatan kontrak yang dianggap adil tidak tercapai sebelum 13 November 2025, bertepatan dengan “Red Cup Day” salah satu hari tersibuk Starbucks dalam setahun. Aksi ini diperkirakan meluas ke lebih dari 25 kota di AS dan dapat berkembang apabila negosiasi kembali buntu.
Kedua pihak saling menuding atas terhentinya pembicaraan kontrak sejak akhir tahun lalu. Meski demikian, baik serikat maupun manajemen menyatakan kesiapan untuk kembali ke meja perundingan.
Serikat pekerja yang mewakili sekitar 9.500 karyawan atau 4 persen dari total tenaga kerja kafe Starbucks, sebelumnya telah menyuarakan rencana mogok di 60 kota. Mereka menuntut kontrak yang menjamin “peningkatan staf, gaji yang lebih baik, dan perlindungan di tempat kerja.”
Ketegangan ini semakin meningkat setelah serikat mengajukan lebih dari 1.000 tuntutan ke Badan Hubungan Perburuhan Nasional (NLRB), menuduh Starbucks melakukan praktik perburuhan yang tidak adil.
Michelle Eisen, juru bicara serikat sekaligus mantan barista Starbucks selama 15 tahun, menyampaikan pernyataan tegas kepada media.
“Jika Starbucks terus stonewalling (menghalangi), mereka harus bersiap melihat bisnis mereka terhenti total. Bola ada di tangan Starbucks,” ujarnya, dikutip Reuters.
Menanggapi ancaman itu, Starbucks menegaskan telah memberikan standar kerja terbaik di sektor ritel.
“Setiap perjanjian perlu mencerminkan realitas bahwa Starbucks sudah menawarkan pekerjaan terbaik di ritel,” tulis perusahaan dalam pernyataannya, sambil menyoroti paket tunjangan seperti asuransi kesehatan, cuti orang tua, dan biaya kuliah daring di Arizona State University bagi karyawan yang bekerja minimal 20 jam per minggu.
Sebelumnya pada April, delegasi serikat menolak proposal kontrak Starbucks yang menawarkan kenaikan gaji tahunan 2 persen tanpa peningkatan manfaat tambahan. Serikat menilai tawaran itu tidak cukup untuk menjawab beban kerja dan biaya hidup yang meningkat.
Bahkan para pemegang saham utama, termasuk Comptroller Kota New York, turut menekan manajemen agar membuka kembali dialog dengan serikat pekerja.
Tekanan terhadap Starbucks tidak hanya datang dari sisi tenaga kerja, tetapi juga dari kinerja bisnis yang melambat. Laporan keuangan terakhir menunjukkan penjualan stagnan di Amerika Utara (0%) dan global (1%), menandai enam kuartal berturut-turut tanpa pertumbuhan signifikan.
CEO Brian Niccol kini berupaya melakukan perombakan besar, termasuk menutup lebih dari 600 toko termasuk gerai serikat unggulan di Seattle serta mengurangi pegawai korporat. Langkah-langkah efisiensi ini diharapkan dapat menstabilkan keuangan perusahaan, namun ancaman mogok massal berpotensi memperburuk citra merek yang sedang berjuang merebut kembali kepercayaan pelanggan. []
Diyan Febriana Citra.

