Pemerintah Targetkan Pembangunan Sekolah Terdampak Bencana Mulai 2026

Pemerintah Targetkan Pembangunan Sekolah Terdampak Bencana Mulai 2026

Bagikan:

JAKARTA — Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menyiapkan langkah pemulihan sektor pendidikan di wilayah terdampak bencana banjir dan longsor yang melanda Provinsi Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Fokus utama kebijakan tersebut adalah memastikan proses belajar mengajar tetap berjalan sekaligus memulai pembangunan kembali sekolah-sekolah yang mengalami kerusakan.

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti menyampaikan bahwa pembangunan dan perbaikan sekolah yang terdampak bencana ditargetkan dapat mulai dilaksanakan pada Februari 2026. Menurutnya, saat ini pemerintah masih berada pada tahap pengumpulan dan pemutakhiran data terkait kondisi sekolah-sekolah di tiga provinsi tersebut.

Ia menjelaskan bahwa pendataan dilakukan secara menyeluruh, meliputi jumlah sekolah yang terdampak, tingkat kerusakan bangunan, serta kebutuhan penanganan yang berbeda-beda di setiap daerah. Data tersebut menjadi dasar bagi pemerintah untuk menentukan skema penanganan yang tepat, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

“Sekarang sudah kami himpun datanya, mudah-mudahan di Februari 2026 itu sudah kami mulai pembangunan sekolah-sekolah yang rusak,” kata Mendikdasmen dalam wawancara bersama tim Podcast Antara TV di Jakarta, Jumat (12/12/2025) sore.

Sambil menunggu dimulainya proses pembangunan fisik, Kemendikdasmen telah menyiapkan langkah-langkah pembelajaran darurat agar hak peserta didik untuk memperoleh pendidikan tetap terpenuhi. Abdul Mu’ti menyebut, pihaknya menyusun tiga skenario pembelajaran darurat dengan mempertimbangkan skala kerusakan sekolah akibat bencana alam.

Skenario pertama diterapkan bagi sekolah-sekolah yang mengalami kerusakan ringan hingga sedang dan masih memiliki ruang kelas yang dapat digunakan. Untuk kondisi tersebut, pembelajaran darurat direncanakan berlangsung selama 0 hingga 3 bulan. Selama masa itu, kegiatan belajar mengajar tetap berjalan dengan sistem belajar bergantian atau shift, sambil menunggu perbaikan sarana dan prasarana yang rusak.

Pendekatan ini dinilai penting agar siswa tidak terlalu lama kehilangan waktu belajar, terutama bagi sekolah yang secara struktural masih memungkinkan untuk digunakan secara terbatas. Pemerintah daerah bersama satuan pendidikan diharapkan dapat berperan aktif dalam mengatur jadwal dan teknis pelaksanaan pembelajaran bergantian tersebut.

Sementara itu, skenario kedua diberlakukan bagi sekolah dengan tingkat kerusakan yang lebih serius, namun masih memungkinkan untuk diperbaiki tanpa harus membangun ulang secara total. Untuk kategori ini, pembelajaran darurat diperkirakan berlangsung selama 3 hingga 12 bulan. Dalam periode tersebut, proses belajar dapat dilakukan di ruang alternatif, termasuk memanfaatkan fasilitas umum atau sekolah terdekat.

Adapun skenario ketiga ditujukan bagi sekolah-sekolah yang mengalami kerusakan berat atau bahkan roboh total. Dalam kondisi seperti ini, pembelajaran darurat dapat berlangsung hingga tiga tahun. Hal ini mempertimbangkan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk membangun gedung sekolah baru, termasuk kemungkinan relokasi ke lokasi yang lebih aman.

“Karena kalau di sekolah yang sudah memang roboh total, bangun baru itu kan perlu waktu yang lama tentunya. Bahkan sebagian ada yang memang harus relokasi. Artinya, bangun baru di lokasi yang baru, nah mencari tanahnya itu kan perlu waktu juga,” ujarnya.

Abdul Mu’ti menegaskan, pemerintah berkomitmen untuk memastikan pemulihan pendidikan pascabencana berjalan seiring dengan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi daerah terdampak. Ia berharap, sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat dapat mempercepat pemulihan sarana pendidikan sekaligus menjamin keberlangsungan proses belajar anak-anak di wilayah terdampak bencana. []

Diyan Febriana Citra.

Bagikan:
Hotnews Nasional