PARLEMENTARIA – Rencana penerapan pendidikan kewarganegaraan dan wawasan kebangsaan dalam masa pengenalan kampus (PKKMB) bagi mahasiswa baru tengah menjadi sorotan publik. Isu ini mencuat setelah adanya wacana pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai pengisi materi dalam kegiatan tersebut.
Kebijakan tersebut langsung memicu perdebatan di kalangan masyarakat. Sebagian pihak mengkhawatirkan keterlibatan aparat militer di lingkungan akademik akan membuka ruang bagi kembalinya bayang-bayang militerisme yang pernah membatasi kebebasan berpikir. Ada pula suara kritis yang menilai bahwa hadirnya TNI dapat berpotensi mengurangi independensi kampus sebagai ruang belajar yang menjunjung tinggi demokrasi dan kebebasan akademik.
Namun, pandangan lain justru menekankan sisi positif rencana ini. Kelompok yang mendukung berargumen bahwa wawasan kebangsaan menjadi bekal penting bagi mahasiswa baru, terlebih di tengah kian menurunnya pengetahuan generasi muda tentang sejarah perjuangan bangsa, nilai demokrasi, dan semangat persatuan. Mereka menilai keterlibatan TNI dapat memperkuat pemahaman mahasiswa terkait nasionalisme sekaligus tanggung jawab menjaga keutuhan NKRI.
Di tengah polemik tersebut, Sekretaris Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur (Kaltim), Salehuddin, mengambil posisi moderat. Menurutnya, pemberian materi wawasan kebangsaan memang penting, asalkan pelaksanaannya berada dalam koridor yang tepat dan tidak mengganggu nilai-nilai demokrasi yang menjadi fondasi kehidupan berbangsa.
“Selama simbol-simbol itu tidak memberikan narasi yang mendegradasi nilai demokrasi, saya pikir wajar-wajar saja. Instrumen TNI memang salah satu tugasnya mempertahankan NKRI dan memberikan pemahaman wawasan kebangsaan,” ujarnya, Jumat (15/08/2025).
Salehuddin menilai fenomena degradasi nilai kebangsaan di kalangan generasi muda memang nyata. Menurutnya, lemahnya pengetahuan terhadap dasar negara, Pancasila, maupun sejarah perjuangan bangsa dapat mengikis rasa cinta tanah air. Karena itu, ia menilai penguatan materi kebangsaan melalui kegiatan PKKMB menjadi relevan untuk dilakukan.
Meski demikian, ia memberi garis tegas bahwa kegiatan tersebut tidak boleh bergeser menjadi ajang politik praktis. Kampus, kata dia, harus tetap menjadi ruang yang netral dari kepentingan kekuasaan. “Kalau ada pengarahan untuk mengajak memilih pihak tertentu, itu jelas melanggar. Tapi kalau hanya memberikan informasi terkait wawasan kebangsaan, nilai patriotik, dan semangat persatuan, itu justru penting,” tegasnya.
Menurut legislator asal Kutai Kartanegara itu, Indonesia merupakan negara dengan keragaman budaya, bahasa, suku, dan agama. Kondisi ini menjadikan penguatan wawasan kebangsaan bukan sekadar pelengkap, melainkan kebutuhan mendesak agar generasi muda tidak mudah terpecah belah oleh isu-isu identitas. “Mahasiswa kita harus mengerti demokrasi dan kebangsaan seperti apa. Selama dilakukan secara proporsional, saya kira tidak ada masalah,” pungkasnya.
Perdebatan mengenai keterlibatan TNI di kampus sebenarnya bukan isu baru. Sejak era reformasi, kampus dikenal sebagai ruang bebas bagi tumbuhnya kritik dan gagasan. Karena itu, sebagian akademisi berpendapat bahwa kehadiran aparat negara, termasuk TNI, harus ditempatkan dalam kerangka edukasi, bukan kontrol. Di sisi lain, tantangan zaman yang semakin kompleks, termasuk ancaman radikalisme, disinformasi, hingga menurunnya rasa nasionalisme, membuat sebagian pihak menilai bahwa kehadiran materi kebangsaan menjadi semakin relevan.
Dengan demikian, wacana ini memperlihatkan tarik-menarik antara dua kepentingan: menjaga kebebasan akademik di satu sisi, serta memperkuat nasionalisme dan persatuan bangsa di sisi lain. Bagaimana keseimbangan keduanya dijaga akan menjadi ujian bagi dunia pendidikan tinggi Indonesia. []
Penulis: Muhammaddong | Penyunting: Agnes Wiguna