JAKARTA — Upaya hukum perdata terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI berakhir dengan arah berbeda. Subhan, penggugat dalam perkara perdata yang menuduh keduanya melakukan perbuatan melawan hukum, memutuskan untuk mencabut tuntutan ganti rugi senilai Rp 125 triliun demi membuka jalan perdamaian.
Langkah tersebut disampaikan Subhan usai menghadiri sidang mediasi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (06/10/2025). Dalam sidang yang dijadwalkan untuk mediasi itu, baik Gibran maupun pihak KPU tidak hadir langsung dan hanya diwakili oleh kuasa hukum masing-masing. Gibran diwakili pengacaranya, Dadang Herli Saputra, sedangkan KPU diwakili Jaksa Pengacara Negara.
Subhan mengaku mencabut tuntutan nominal fantastis tersebut karena alasan moral, bukan materi. Ia menilai perjuangannya bukan untuk memperoleh uang, melainkan menegakkan prinsip keadilan dan tanggung jawab pejabat publik.
“Saya enggak minta pokok perkara (uang ganti rugi Rp 125 triliun). Tadi, mediator minta (penjelasan) bagaimana tentang tuntutan ganti rugi. Enggak usah, saya enggak butuh duit,” ujar Subhan di PN Jakarta Pusat.
Ia menjelaskan, syarat perdamaian yang diharapkannya hanya dua hal sederhana namun substansial. “Pertama, para tergugat minta maaf kepada warga negara, kepada bangsa Indonesia, baik tergugat 1 atau tergugat 2. Terus, tergugat 1 dan tergugat 2 selanjutnya harus mundur,” ucapnya.
Subhan menegaskan, rakyat Indonesia jauh lebih membutuhkan kesejahteraan ketimbang kompensasi dalam bentuk uang. “Warga negara Indonesia tidak butuh uang, butuh kesejahteraan dan butuh pemimpin yang tidak cacat hukum,” kata dia.
Meski begitu, nilai ganti rugi yang tercantum dalam gugatan awal sebesar Rp 125 triliun masih menjadi bagian dari berkas perkara yang akan dibahas dalam proses mediasi lanjutan. Pengadilan menjadwalkan sesi berikutnya pada Senin (13/10/2025) untuk mendengar tanggapan para tergugat terhadap proposal perdamaian tersebut.
Dalam berkas gugatan sebelumnya, Subhan menilai Gibran dan KPU melakukan pelanggaran hukum karena terdapat sejumlah syarat pendaftaran calon wakil presiden yang disebutnya tidak terpenuhi, khususnya terkait jenjang pendidikan. Berdasarkan data KPU, Gibran pernah menempuh pendidikan di Orchid Park Secondary School di Singapura (2002–2004) dan UTS Insearch Sydney (2004–2007), keduanya setara dengan tingkat SMA.
Subhan menekankan bahwa persoalan yang digugat bukan soal kelulusan, melainkan keabsahan tempat pendidikan. Ia meminta majelis hakim menyatakan bahwa Gibran dan KPU melakukan perbuatan melawan hukum, serta menyatakan status jabatan wakil presiden yang diemban Gibran tidak sah.
Selain permintaan maaf dan pengunduran diri, petitum awal Subhan juga berisi tuntutan agar Gibran dan KPU membayar kerugian material dan immaterial secara tanggung renteng senilai Rp 125 triliun kepada negara. Namun kini, penggugat memilih jalur damai demi, katanya, “mengembalikan nurani berbangsa”. []
Diyan Febriana Citra.