JAKARTA – Rencana aksi demonstrasi buruh yang sedianya digelar pada Senin (24/11/2025) kembali ditangguhkan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh. Keputusan itu diumumkan setelah pemerintah memastikan penundaan pengumuman kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2026 yang sebelumnya dijadwalkan pada Jumat (21/11/2025). Penundaan itu dianggap sebagai salah satu dari tuntutan awal buruh.
Presiden KSPI sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menyampaikan bahwa aksi pada 24 November 2025 sesungguhnya ditujukan untuk mendorong pemerintah tidak terburu-buru mengumumkan kenaikan upah sebelum dialog antara pemerintah dan serikat buruh mencapai kesepahaman.
“Akhirnya pemerintah menunda pengumuman tersebut, sehingga KSPI dan Partai Buruh pun membatalkan atau menunda aksi 24 November 2025,” ujar Said dalam keterangan resminya, Senin (24/11/2025).
Meski demikian, Said menegaskan bahwa buruh tetap menyiapkan aksi lanjutan apabila kebijakan upah 2026 tidak memenuhi harapan. Ia juga mengonfirmasi bahwa demonstrasi tetap akan digelar pada rentang waktu sebelum dan sesudah pengumuman UMP.
“Aksi buruh dipastikan tetap akan digelar satu hari sebelum dan satu hari sesudah pengumuman pemerintah bilamana kenaikan upah minimum 2026 tidak sesuai dengan harapan buruh,” tegasnya.
Selain mengandalkan aksi turun ke jalan, Said mengungkapkan bahwa buruh juga menyiapkan rencana mogok nasional. Aksi tersebut diklaim akan melibatkan sekitar 5 juta buruh di lebih dari 5.000 perusahaan di seluruh Indonesia. Mogok nasional akan menjadi langkah terakhir apabila Menaker memaksakan penetapan upah dengan rumus yang dianggap merugikan kaum buruh.
Untuk memberikan masukan bagi pemerintah, serikat buruh mengusulkan tiga opsi perhitungan kenaikan UMP 2026. Opsi pertama adalah kenaikan pada rentang 8,5 persen hingga 10,5 persen. Angka ini diambil dengan mempertimbangkan inflasi 3,26 persen dan pertumbuhan ekonomi 5,2 persen dikalikan indeks tertentu bernilai 1,0.
“Maka didapat kenaikan upah minimum sama dengan 3,26 persen ditambah (1,0 dikali 5,2 persen), hasilnya 8,46 persen yang dibulatkan menjadi 8,5 persen,” jelas Said. Nilai 10,5 persen dihitung dengan menggunakan indeks 1,4 yang diterapkan untuk daerah dengan pertumbuhan ekonomi tinggi.
Opsi kedua adalah kenaikan 7,77 persen. Rumus ini menggunakan angka makro ekonomi periode Oktober 2024–September 2025 yang dirilis BPS, yakni inflasi 2,65 persen dan pertumbuhan ekonomi 5,12 persen.
“Maka, dengan perhitungan tersebut, didapat kenaikan upah minimum sama dengan 2,65 persen + (1,0 x 5,12 persen) = 7,77 persen,” ujar Said.
Opsi ketiga adalah kenaikan paling rendah, yaitu 6,5 persen angka yang menurut Said sejalan dengan kebijakan upah minimum 2025 yang ditetapkan Presiden Prabowo Subianto.
“Pertimbangannya adalah angka makro ekonomi tahun lalu hampir sama dengan angka makro ekonomi tahun ini, yaitu kurun waktu Oktober 2024 sampai dengan Oktober 2025,” katanya.
Said mengingatkan pemerintah agar tidak menetapkan nilai indeks terlalu rendah. Menurutnya, rumus indeks 0,2 hingga 0,7 akan menghasilkan kenaikan upah yang tidak mencerminkan kondisi ekonomi nyata.
“Jadi, bilamana Menaker memutuskan Rancangan Peraturan Pengupahan yang memuat kenaikan upah minimum dengan menggunakan nilai indeks tertentu 0,2 sampai 0,7, maka bisa dipastikan buruh akan melakukan mogok besar-besaran,” ujar Said.
Mogok nasional tersebut direncanakan berlangsung pada pekan kedua hingga pekan keempat Desember 2025 apabila tuntutan tidak dipenuhi. Aksi itu disiapkan sebagai pengganti demonstrasi 24 November 2025 yang batal dilaksanakan dan menjadi bentuk tekanan agar pemerintah mempertimbangkan kembali formula pengupahan. []
Diyan Febriana Citra.

