JAKARTA — Praktik korupsi masih menjadi hambatan besar dalam mewujudkan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang efektif dan berpihak pada kepentingan masyarakat. Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Telisa Aulia Falianty, mengungkapkan bahwa pengurangan korupsi harus menjadi prioritas pemerintah dalam rangka memaksimalkan fungsi APBN sebagai instrumen pembangunan nasional.
Berbicara dalam forum CNBC Indonesia Economic Update 2025 yang digelar di Hotel Borobudur, Jakarta, pada Rabu (18/6/2025), Telisa memaparkan bahwa nilai kerugian negara akibat korupsi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Merujuk pada data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), ia menyebut bahwa jumlah dana yang dikorupsi selama tahun 2024 mencapai hampir sepertiga dari total APBN.
“Menurut data PPATK, nilai dana yang terindikasi dikorupsi selama tahun 2024 mencapai Rp984 triliun. Ini angka yang sangat besar, bahkan jauh melampaui target efisiensi anggaran pemerintah yang hanya sekitar Rp300 triliun,” ujar Telisa.
Ia menambahkan, dalam beberapa tahun terakhir, kerugian negara akibat korupsi terus terjadi secara masif. Sebagai contoh, nilai kerugian pada 2021 tercatat sebesar Rp62 triliun, dan pada 2022 mencapai Rp48,79 triliun. Jika dikalkulasi secara kumulatif, praktik korupsi ini jauh lebih merugikan dibandingkan efisiensi belanja negara yang coba dilakukan pemerintah.
“Bayangkan, kita ingin melakukan penghematan Rp300 triliun, tetapi dana yang dikorupsi justru tiga kali lipat lebih besar. Artinya, pekerjaan rumah terbesar kita saat ini adalah menekan tingkat korupsi, bukan hanya sekadar melakukan efisiensi belanja,” tegasnya.
Telisa menekankan bahwa pemberantasan korupsi tidak bisa hanya dibebankan pada Kementerian Keuangan. Menurutnya, pengawasan dan penegakan hukum harus melibatkan lembaga-lembaga terkait seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta masyarakat sipil.
“Korupsi dan inefisiensi dalam indikator ICOR (Incremental Capital Output Ratio) adalah dua persoalan mendasar yang harus segera diselesaikan jika ingin APBN benar-benar memberi manfaat optimal bagi rakyat,” pungkasnya.[]
Putri Aulia Maharani