Perang Dagang China dan AS: Dunia Merana, Negara Ini Justru Beruntung

Perang Dagang China dan AS: Dunia Merana, Negara Ini Justru Beruntung

JAKARTA – Perang dagang yang dimulai oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, semakin menimbulkan kekhawatiran di kalangan perusahaan-perusahaan besar di dunia. Sejumlah raksasa industri kini mengeluhkan dampak dari kebijakan tarif yang diberlakukan oleh AS terhadap negara-negara lain. Mereka menyatakan bahwa perang dagang ini semakin memperlambat roda perekonomian global, yang selama beberapa dekade didorong oleh perdagangan internasional yang relatif dapat diprediksi dan bebas.

Banyak perusahaan multinasional dan pelaku e-commerce yang pada pekan lalu terpaksa menurunkan target penjualannya, memperingatkan kemungkinan terjadinya pemutusan hubungan kerja, serta merevisi rencana bisnis mereka. Di sisi lain, negara-negara dengan perekonomian utama di dunia pun mulai mengubah proyeksi pertumbuhannya, merespons data ekonomi yang menunjukkan penurunan yang signifikan.

Sementara pasar keuangan berpendapat bahwa AS dan China akan menarik diri dari perang dagang yang semakin sengit ini dan bahwa Trump akan mencapai kesepakatan untuk menghindari tarif yang lebih tinggi terhadap pihak lain, ketidakpastian mengenai arah akhir dari situasi ini telah menjadi penghambat utama.

Isabelle Mateos y Lago, Kepala Ekonom Grup di BNP Paribas, menyatakan dalam wawancara dengan Reuters, Senin (5/5/2025), bahwa “Kebijakan tarif AS merupakan guncangan negatif yang serius bagi perekonomian dunia dalam waktu dekat.” Dia menambahkan bahwa kebijakan tarif yang diberlakukan oleh AS mungkin akan bertahan lebih lama dari yang diperkirakan sebelumnya dan dapat diterapkan pada tingkat yang lebih tinggi daripada yang sudah ada saat ini. Tarif tersebut saat ini berada pada angka 10% dan berlaku untuk berbagai produk, termasuk baja, aluminium, dan mobil.

Pihak Beijing, pada hari Jumat lalu, menyatakan bahwa mereka sedang mempertimbangkan tawaran dari Washington untuk melanjutkan pembicaraan mengenai tarif AS yang mencapai 145%. Sebagai respons, China telah mengenakan tarif tambahan sebesar 125%. Pemerintahan Trump juga telah memberikan sinyal bahwa mereka hampir mencapai kesepakatan dengan sejumlah negara, seperti India, Korea Selatan, dan Jepang, untuk mencegah terjadinya peningkatan tarif lebih lanjut dalam beberapa minggu mendatang.

Perusahaan-perusahaan besar, seperti produsen peralatan rumah tangga asal Swedia, Electrolux, bahkan terpaksa mengurangi proyeksi pertumbuhannya. Begitu juga dengan Volvo Cars, produsen perangkat keras komputer Logitech, serta perusahaan minuman global, Diageo, yang juga terpaksa menurunkan targetnya akibat ketidakpastian yang ditimbulkan oleh perang dagang ini.

Selain itu, kebijakan pencabutan perlakuan bebas bea “de minimis” terhadap produk-produk yang masuk ke AS menjadi pukulan berat bagi banyak usaha kecil di China. Hal ini terutama berdampak pada bisnis yang sering mengirimkan barang dengan nilai di bawah 800 dolar AS (sekitar Rp 12,7 juta). Cindy Allen, CEO Trade Force Multiplier, sebuah perusahaan konsultan perdagangan global, mengungkapkan, “Kami beralih dari nol tarif menjadi 145%, yang jelas tidak dapat dipertahankan oleh perusahaan dan pelanggan.” Dia juga menambahkan bahwa banyak bisnis kecil dan menengah yang memilih untuk keluar dari pasar AS karena kebijakan tersebut.

Meski perang dagang ini memberikan dampak negatif bagi sejumlah negara, ada pula negara yang mendapatkan manfaat dari situasi ini. Salah satunya adalah India, yang mencatatkan pertumbuhan manufaktur tertinggi dalam sepuluh bulan terakhir pada bulan April. Keadaan ini dapat terjadi karena India mulai menggeser posisi China sebagai pemasok barang ke AS. Meskipun India tetap dikenakan tarif oleh Trump, besaran tarif yang dikenakan terhadap India jauh lebih kecil dibandingkan dengan China, sehingga memaksa banyak perusahaan, termasuk Apple, untuk memindahkan sebagian besar produksinya ke negara tersebut.

Ekonom pasar berkembang, Shilan Shah dari Capital Economics, mengatakan, “India berada pada posisi yang sangat baik untuk menjadi alternatif bagi China sebagai pemasok barang ke AS dalam jangka pendek.” Namun, meskipun ada sisi positif bagi beberapa negara, mayoritas ekonom menganggap taktik tarif yang diterapkan oleh AS sebagai “guncangan permintaan” yang dapat mempengaruhi perekonomian global secara keseluruhan. Kebijakan ini membuat impor menjadi lebih mahal bagi bisnis dan konsumen di AS, yang pada akhirnya dapat melemahkan aktivitas ekonomi di negara-negara lain.

Namun, ada sisi positif dari kebijakan ini, yaitu dapat mengurangi tekanan inflasi, yang memberi bank-bank sentral di negara lain ruang lebih besar untuk meningkatkan ekonomi mereka melalui pemotongan suku bunga. Seperti yang dilakukan oleh Bank of England pada minggu ini. Meskipun demikian, sejauh ini masih belum terlihat apakah upaya Trump untuk menyeimbangkan kembali sistem perdagangan demi kepentingan AS ini akan mendorong negara-negara lain untuk merombak kebijakan ekonomi mereka. Misalnya, apakah China akan meningkatkan stimulus bagi ekonomi domestiknya, atau apakah negara-negara di zona euro akan menghapus hambatan yang masih ada dalam pasar tunggal mereka.[]

Putri Aulia Maharani

Internasional