Permohonan Pemecatan Anggota DPR oleh Rakyat Ditolak MK

Permohonan Pemecatan Anggota DPR oleh Rakyat Ditolak MK

Bagikan:

JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menegaskan posisinya terkait tata kelola dan mekanisme pemecatan anggota legislatif. Dalam sidang pleno yang berlangsung di Gedung MK, Jakarta, Kamis (27/11/2025), lembaga tersebut resmi menolak permohonan uji materi Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3, yang sebelumnya diajukan oleh lima mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi.

Putusan ini dibacakan oleh Ketua MK, Suhartoyo, yang menyampaikan sikap Mahkamah secara tegas. “Mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Suhartoyo dalam perkara Nomor 199/PUU-XXIII/2025. Dengan putusan tersebut, ketentuan mengenai kewenangan partai politik dalam melakukan pergantian antar waktu (PAW) tetap tidak berubah.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menilai bahwa Indonesia telah memiliki beberapa instrumen untuk memberhentikan anggota DPR yang dinilai bermasalah, termasuk melalui mekanisme internal partai dan Majelis Kehormatan Dewan (MKD). Hakim Konstitusi Guntur Hamzah menyampaikan bahwa mekanisme tersebut sejalan dengan karakter sistem pemilu Indonesia.

“Mahkamah berpendapat bahwa mekanisme recall berkonsekuensi logis pada pilihan sistem pemilihan umum suatu negara, termasuk Indonesia,” ujar Guntur.

Mahkamah juga menekankan bahwa karena pemilihan anggota legislatif dilakukan melalui partai politik, maka kewenangan untuk menarik kembali anggota yang dianggap tidak layak berada sepenuhnya pada parpol. Hal ini selaras dengan amanat Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Dengan demikian, menurut MK, pengalihan kewenangan recall dari partai kepada rakyat justru tidak cocok dengan sistem demokrasi perwakilan yang dianut Indonesia.

“Konsekuensi logis dari diterapkannya mekanisme recall terhadap anggota DPR dan anggota DPRD juga harus dilakukan oleh partai politik,” kata Guntur.

Permintaan para pemohon agar rakyat diberi hak yang setara dengan partai politik untuk memberhentikan anggota DPR dinilai Mahkamah akan menimbulkan masalah baru. Jika rakyat diberi kewenangan tersebut, maka proses pemecatan dapat menyerupai pemilu ulang dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Salah satunya karena tidak ada cara untuk memastikan siapa pemilih yang sebelumnya mendukung anggota tersebut.

Meski demikian, MK menegaskan bahwa masyarakat tetap memiliki ruang untuk memberikan masukan jika merasa tidak puas terhadap kinerja wakilnya.

“Pemilih dapat mengajukan keberatan kepada partai politik bahkan dapat menyampaikan kepada partai politik untuk me-recall anggota DPR atau anggota DPRD dimaksud,” ujar Guntur. Selain itu, pemilih juga dapat menggunakan haknya dalam pemilu berikutnya untuk tidak memilih kembali calon yang dinilai bermasalah.

Gugatan ini sebelumnya diajukan oleh lima mahasiswa Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, Muhammad Adnan, dan Tsalis Khoirul Fatna yang memandang bahwa sistem recall oleh partai politik selama ini menimbulkan ketimpangan. Dalam persidangan, Ikhsan menegaskan bahwa permohonan mereka tidak dilandasi sikap anti-parpol, melainkan dorongan agar mekanisme kontrol terhadap wakil rakyat tidak menimbulkan korban.

“Permohonan a quo sebagai bentuk kepedulian untuk berbenah,” ujarnya.

Dengan ditolaknya permohonan tersebut, mekanisme PAW anggota parlemen tetap berada di tangan partai politik, sebagaimana diatur dalam UU MD3 yang masih berlaku hingga saat ini. []

Diyan Febriana Citra.

Bagikan:
Hotnews Nasional