JAKARTA – Pemerintah menanggapi dengan hati-hati usulan sejumlah ekonom yang menyarankan agar tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) diturunkan menjadi 8 persen demi mendorong daya saing dan konsumsi domestik. Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa setiap kebijakan fiskal harus melalui perhitungan cermat karena berdampak langsung terhadap penerimaan negara.
Menurut Purbaya, gagasan penurunan tarif PPN memang tampak menarik di atas kertas, terutama dalam konteks memperkuat daya beli masyarakat dan menghidupkan sektor riil. Namun, dari sisi kas negara, langkah itu dapat berimplikasi besar terhadap kemampuan pemerintah membiayai program prioritas.
“Kan kemarin diusulkan (PPN) naik jadi 12 persen, akhirnya cuma naiknya ke 11 persen. Orang usulin lagi, jangan ke 11 persen lah coba turunin ke 9 persen atau 8 persen. Waktu di luar (pemerintah) juga saya (dengan) enaknya ngomong turunin aja ke 8 persen, tapi begitu jadi menteri keuangan setiap 1 persen turun, saya kehilangan pendapatan 70 triliun. Wah rugi juga nih. Jadi kita pikir-pikir,” ujar Purbaya dalam Sarasehan 100 Ekonom Indonesia 2025 di Jakarta, Selasa (28/10/2025).
Ia menambahkan, fokus utama saat ini adalah memperbaiki sistem pengumpulan pajak dan cukai agar potensi penerimaan negara dapat dihitung secara lebih akurat. Setelah itu, barulah pemerintah dapat menilai ruang fiskal yang tersedia untuk menyesuaikan tarif PPN.
“Saya akan perbaiki sekarang sampai dua triwulan ke depan. Mungkin akhir triwulan pertama tahun depan saya sudah lihat. Dari situ saya bisa ukur sebetulnya potensi saya berapa sih yang real. Nanti kalau saya turunkan berapa, dampak pertumbuhan ekonominya berapa,” jelas Purbaya.
Ia menegaskan, keputusan menurunkan tarif pajak tidak bisa dilakukan secara serampangan. “Sampai akhir tahun berapa sih kemampuan tax collection kita yang betul dengan perbaikan sistem. Nanti saya hitung semuanya,” katanya.
Menkeu juga menegaskan sikapnya yang berhati-hati dalam menjaga defisit anggaran. “Jadi walaupun saya sembarangan kayak koboi, saya pelit dan hati-hati. Kalau jeblok nanti defisit saya di atas 3 persen,” pungkasnya.
Sementara itu, sejumlah ekonom menilai langkah penyesuaian PPN penting agar Indonesia lebih kompetitif di kawasan Asia Tenggara. Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF, M. Rizal Taufikurahman, menilai tarif PPN Indonesia sebesar 11 persen tergolong tinggi dibandingkan dengan negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam yang berada di kisaran 7–8 persen.
Menurut Rizal, penurunan PPN ke level 9–10 persen bisa mendorong pertumbuhan ekonomi sekitar 0,2–0,3 poin, selama pemerintah tetap disiplin dalam menjaga anggaran serta memperluas basis pajak digital dan sektor informal.
Debat soal tarif pajak ini menunjukkan dilema antara menjaga daya beli masyarakat dan menegakkan stabilitas fiskal. Pemerintah dihadapkan pada pilihan sulit: menyeimbangkan kebutuhan konsumsi publik dengan keberlanjutan fiskal negara di tengah tantangan ekonomi global yang masih dinamis. []
Diyan Febriana Citra.

