NEW YORK — Presiden Kolombia, Gustavo Petro, menyatakan dirinya tidak peduli atas keputusan Amerika Serikat (AS) yang mencabut visanya. Ia menuding langkah tersebut merupakan bentuk pelanggaran hukum internasional akibat sikapnya yang keras mengkritik serangan Israel di Gaza.
Diberitakan Reuters, Minggu (28/9/2025), pencabutan visa diumumkan setelah Petro turun langsung ke jalanan New York, Jumat (26/9), bergabung dengan ribuan massa pro-Palestina. Dalam orasi di hadapan demonstran di sekitar markas besar PBB, ia menyerukan pembentukan pasukan bersenjata global untuk membebaskan Palestina. Tak hanya itu, Petro juga mendesak tentara Amerika agar tidak menaati perintah Presiden Donald Trump.
“Saya tidak lagi memiliki visa untuk bepergian ke Amerika Serikat. Saya tidak peduli. Saya tidak membutuhkan visa karena saya bukan hanya warga negara Kolombia tetapi juga warga negara Eropa, dan saya benar-benar menganggap diri saya sebagai orang bebas di dunia,” tulis Petro melalui akun media sosial resminya.
Ia menambahkan, “Mencabut visa karena mengecam genosida menunjukkan AS tidak lagi menghormati hukum internasional.”
Departemen Luar Negeri AS dalam unggahan di X menyebut keputusan tersebut diambil karena tindakan Petro dinilai “sembrono dan menghasut”. Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Kolombia mengecam langkah Washington yang disebut bertentangan dengan semangat PBB, khususnya prinsip kebebasan berekspresi serta independensi negara anggota.
“PBB harus mencari negara tuan rumah yang sepenuhnya netral yang akan memungkinkan Organisasi itu sendiri untuk mengeluarkan izin memasuki wilayah negara tuan rumah baru tersebut,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Kolombia.
Bukan kali ini saja presiden Kolombia menghadapi kebijakan serupa. Pada 1996, Presiden Ernesto Samper juga pernah dicabut visanya oleh AS karena kasus dugaan pendanaan kampanye oleh kartel narkoba Cali.
Hubungan Bogota dan Washington belakangan semakin renggang sejak Trump kembali menjabat. Awal 2025, Petro sempat menghentikan penerbangan deportasi dari AS, yang memicu ancaman tarif dan sanksi sebelum akhirnya kedua negara mencapai kesepakatan.
Ketegangan makin meningkat pada Juli lalu ketika kedua negara saling menarik duta besar usai Petro menuduh pejabat AS merencanakan kudeta. Washington membantah keras tudingan tersebut.
Sementara itu, Israel konsisten membantah tuduhan genosida di Gaza dan menyatakan operasi militernya semata untuk membela diri dari serangan Hamas pada Oktober 2023 yang menewaskan 1.200 orang dan menyandera lebih dari 250 lainnya.
Namun, data PBB serta laporan pakar hak asasi manusia menunjukkan ribuan warga sipil Palestina, termasuk anak-anak, tewas akibat serangan, sementara seluruh populasi Gaza terpaksa mengungsi.
Kecaman internasional terus bermunculan seiring meningkatnya jumlah korban yang dilaporkan mencapai 65.000 jiwa. Bagi Petro, sikap diam justru akan memperparah penderitaan warga sipil Palestina. []
Putri Aulia Maharani