JAKARTA — Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memutuskan pemilu nasional dan daerah akan digelar secara terpisah mulai 2029 menuai reaksi serius dari parlemen. Komisi III DPR pun mengambil langkah dengan menyampaikan surat resmi kepada pimpinan DPR, yang berisi kajian mendalam mengenai dampak dan dinamika dari putusan tersebut.
Ketua DPR RI, Puan Maharani, membenarkan adanya surat dari Komisi III tersebut dan menyatakan bahwa isinya merupakan analisis kritis terhadap keputusan MK yang memicu perdebatan publik.
“Surat yang dari Komisi III adalah berkait dengan kajian telaah terkait dengan situasi atau masalah yang kemarin sedang bergulir, yang di hal-hal yang menjadi keputusan MK,” ujar Puan saat ditemui di Kompleks Parlemen, Kamis (24/07/2025).
Puan menambahkan bahwa masukan dari Komisi III akan menjadi bahan pertimbangan penting bagi pimpinan DPR untuk menentukan langkah berikutnya.
“Apa yang menjadi masukan dari Komisi III, apa yang menjadi kajian dan telaahannya kemudian diberikan kepada pimpinan, untuk kemudian kami nantinya akan membahasnya sesuai dengan mekanisme yang ada,” ujarnya.
Langkah ini menjadi lanjutan dari respons kritis Komisi III terhadap MK. Dalam rapat kerja yang berlangsung Rabu (09/07/2025), bersama Mahkamah Agung (MA), MK, dan Komisi Yudisial (KY), sejumlah anggota Komisi III melontarkan pertanyaan tajam dan kritik terhadap keputusan MK memisahkan pemilu nasional dan daerah.
Padahal, agenda utama rapat tersebut adalah membahas rencana kerja dan laporan keuangan masing-masing lembaga. Namun, perdebatan justru bergeser pada keputusan MK yang dinilai membawa konsekuensi politik dan hukum yang besar.
Salah satu suara keras datang dari Hasbiallah Ilyas, anggota Komisi III dari Fraksi PKB. Ia menyoroti kecenderungan MK mengubah arah sistem pemilu yang menurutnya membuat masyarakat bingung.
“Kita sepakat dengan kawan kita dari Fraksi Nasdem. Jangan 500 orang ini, Pak, kalah dengan sembilan hakim,” ucap Hasbiallah.
Ia menilai bahwa sejak 2009 sistem pemilu di Indonesia tidak pernah konsisten, dan perubahan-perubahan itu menimbulkan gejolak di masyarakat. Karena itu, ia mendorong proses seleksi hakim MK dilakukan secara lebih ketat dan transparan. “Menurut saya perlu diseleksi lebih optimal lagi, jangan sampai adanya MK ini keluar dari norma yang ada,” tegasnya.
Senada, anggota Fraksi Nasdem Rudianto Lallo menilai bahwa MK perlu menjaga konsistensi dalam menjaga konstitusi. Ia menegaskan bahwa MK tidak boleh menjadi lembaga yang justru bertentangan dengan UUD 1945. “MK sebagai ‘guardian of constitution‘ jangan justru menjadi lembaga yang menabrak Undang-Undang Dasar,” ucapnya.
Situasi ini menunjukkan bahwa meski bersifat final dan mengikat, putusan MK tetap berada dalam pengawasan dan sorotan politik dari lembaga legislatif. Dengan perbedaan pandangan yang mencuat di parlemen, pemisahan pemilu nasional dan daerah bukan hanya menjadi isu hukum, tetapi juga wacana politik yang strategis menuju 2029. []
Diyan Febriana Citra.