JAKARTA – Ketegangan mewarnai audiensi antara kelompok masyarakat sipil dan Komisi Percepatan Reformasi Polri di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta, Rabu (19/11/2025). Pertemuan yang semula dijadwalkan sebagai ruang dialog mengenai arah pembenahan kepolisian justru berakhir dengan aksi walkout dari pakar hukum tata negara Refly Harun dan sejumlah peserta lain.
Insiden tersebut terjadi setelah perwakilan Komisi Reformasi keberatan terhadap kehadiran tiga peserta yang tengah menjalani proses hukum sebagai tersangka, yakni Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauziah Tyassuma (Tifa). Ketiganya sebelumnya masuk dalam daftar 18 nama yang diundang secara resmi untuk mengikuti audiensi.
“Memang kami walkout karena kan ada 18 orang yang tertera dalam undangan yang kami ajukan. Ini mereka mengundang kita, Refly Harun dan kawan-kawan, kemudian ada 18 orang yang namanya dicatatkan untuk diundang,” kata Refly kepada wartawan di PTIK. Ia menambahkan bahwa keberatan muncul dari tim Komisi yang dipimpin mantan Kapolri Idham Azis. “Dan rupanya ada keberatan dari tim, yang diperkuat mantan Kapolri Idham Azis yang mengatakan kalau tersangka tidak boleh ikut, opsinya keluar,” ujarnya.
Situasi tersebut membuat diskusi terhenti. Menurut Refly, tindakan walkout itu merupakan bentuk penegasan sikap bahwa forum reformasi tidak seharusnya membatasi kehadiran warga yang ingin menyampaikan masukan, terlepas dari status hukum mereka. “Berdasarkan solidaritas kita, kalau RRT (Roy Suryo, Rismon Sianipar, Tifauziah Tyassuma) keluar, maka kita keluar,” ungkapnya.
Refly juga menegaskan bahwa fokus pertemuan bukan semata membahas perkara dugaan ijazah palsu yang menjerat Roy Suryo dkk, namun lebih luas menyangkut fenomena kriminalisasi yang, menurutnya, muncul bersamaan dengan desakan publik agar reformasi kepolisian berjalan lebih serius.
“Kan keyakinan kita adalah kasus ini adalah kriminalisasi, karena itu saya kira layak untuk didiskusikan, disampaikan aspirasinya kepada pihak kepolisian,” kata Refly.
Ia mempertanyakan mengapa sejumlah kasus yang dinilai bermuatan kriminalisasi justru meningkat ketika publik menuntut perubahan institusional di tubuh Polri. Tak hanya itu, Refly juga menyoroti kecenderungan pemidanaan terhadap masyarakat yang menyampaikan pendapat atau hasil penelitian.
“Negara yang mentersangkakan atau mempidanakan orang berpendapat apalagi dengan penelitian dan lain sebagainya, itu negara yang demokrasinya sontoloyo. Nah Indonesia kan tidak ingin seperti itu harusnya, Indonesia harus naik kelas menjadi negara demokrasi yang substantif,” ujarnya.
Dengan walkout yang dilakukan, Refly berharap Komisi Reformasi Polri dapat meninjau kembali mekanisme dialog agar menjadi ruang yang benar-benar terbuka, inklusif, dan responsif terhadap kritik masyarakat. Ia menilai, tanpa ruang diskusi yang bebas dan setara, agenda reformasi tidak akan berjalan secara efektif. []
Diyan Febriana Citra.

