Rio de Janeiro Berdarah, 64 Tewas dalam Penggerebekan Narkoba

Rio de Janeiro Berdarah, 64 Tewas dalam Penggerebekan Narkoba

Bagikan:

RIO DE JANEIRO — Ketenangan di dua kawasan padat penduduk di Rio de Janeiro, Brasil, berubah menjadi mimpi buruk pada Selasa (28/10/2025) ketika suara tembakan dan ledakan menggema di antara rumah-rumah sempit favela. Penggerebekan besar-besaran aparat keamanan untuk memberantas jaringan narkoba justru meninggalkan jejak kematian dan kepanikan warga.

Pemerintah Brasil melaporkan, sebanyak 64 orang tewas dalam operasi tersebut. Dari jumlah itu, 60 di antaranya diduga anggota geng narkoba, sementara empat lainnya merupakan anggota kepolisian. Bagi banyak penduduk Rio, angka ini mencerminkan kekerasan yang terus berulang di kawasan miskin perkotaan yang kerap menjadi medan tempur aparat dan sindikat kriminal.

Operasi kali ini disebut sebagai yang terbesar dalam sejarah Rio de Janeiro. Sekitar 2.500 polisi bersenjata lengkap diterjunkan untuk menyerbu dua wilayah yang dikenal rawan kriminalitas Complexo da Penha dan Complexo do Alemao. Dukungan dua helikopter, 32 kendaraan lapis baja, dan 12 kendaraan pembongkar menandai betapa masifnya operasi itu. Polisi bahkan harus menghancurkan barikade yang dipasang geng untuk menghalangi akses masuk ke lorong-lorong sempit favela.

Suasana mencekam juga terasa hingga sekitar bandara internasional Rio de Janeiro. Menurut laporan AFP, suara baku tembak terdengar sepanjang hari, disertai kepulan asap dari beberapa titik kebakaran. Warga memilih bersembunyi di dalam rumah, sementara toko-toko tutup untuk menghindari risiko peluru nyasar.

Kepolisian menuding kelompok Comando Vermelho (Komando Merah) sebagai target utama operasi, kelompok yang disebut sebagai salah satu sindikat narkoba terbesar di Brasil.

“Polisi menyita setidaknya 42 senapan beserta sejumlah besar narkoba. Sekitar 81 orang ditangkap,” ujar Gubernur Negara Bagian Rio de Janeiro, Claudio Castro, yang memuji keberanian aparat dalam operasi tersebut.

Namun, di sisi lain, gelombang kritik bermunculan. Banyak pihak menilai operasi ini memperburuk penderitaan warga sipil di kawasan miskin. Anggota Kongres Henrique Vieira, yang juga seorang pendeta evangelis, menuding pemerintah memperlakukan warga favela layaknya musuh negara.

“Pemerintah negara bagian memperlakukan favela sebagai wilayah musuh, dengan izin untuk menembak dan membunuh,” tulisnya di X.

Komisi Hak Asasi Manusia Majelis Legislatif Negara Bagian Rio juga mengecam tindakan tersebut. “Komisi Hak Asasi Manusia dari Majelis Legislatif Negara Bagian Rio akan menuntut penjelasan tentang keadaan tindakan tersebut, yang sekali lagi telah mengubah favela Rio menjadi medan perang dan barbarisme,” ujar Anggota Kongres Dani Monteiro.

Kritik itu bukan tanpa dasar. Data menunjukkan, sepanjang tahun lalu sekitar 700 orang tewas akibat operasi polisi di Rio rata-rata hampir dua orang per hari. Meski Mahkamah Agung Brasil sempat memberlakukan pembatasan operasi antinarkoba pada 2020, termasuk larangan penggunaan helikopter di wilayah padat penduduk, aturan itu telah dicabut pada tahun ini.

Bagi warga Rio, perang melawan narkoba kini terasa seperti perang tanpa akhir di mana garis antara keamanan dan kekerasan semakin kabur. []

Diyan Febriana Citra.

Bagikan:
Internasional