JAKARTA – Mantan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Rudi Suparmono, menegaskan bahwa dirinya tidak turut serta dalam proses pembahasan maupun pengambilan keputusan terkait vonis bebas terhadap terdakwa pembunuhan Gregorius Ronald Tannur. Penegasan ini disampaikan melalui pleidoi yang dibacakan kuasa hukumnya dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Senin (04/08/2025).
“Terdakwa dapat dibuktikan tidak sama sekali terlibat dalam pembahasan, musyawarah, apalagi keputusan majelis hakim yang kemudian membebaskan Gregorius Ronald Tannur,” kata kuasa hukum Rudi Suparmono.
Kasus vonis bebas Gregorius Ronald Tannur, yang merupakan putra dari anggota DPR RI Fraksi PKB, Edward Tannur, menyedot perhatian publik. Terlebih, putusan bebas tersebut dibacakan pada 24 Juli 2024, atau tiga bulan setelah Rudi tidak lagi menjabat sebagai Ketua PN Surabaya. Fakta ini, menurut kuasa hukum, memperkuat argumen bahwa Rudi tidak memiliki pengaruh langsung terhadap amar putusan majelis hakim.
“Putusan bebas atas nama Gregorius Ronald Tannur, sepenuhnya ditentukan majelis hakim itu sendiri,” tegas pengacara Rudi dalam persidangan.
Namun demikian, dalam proses sebelumnya, Rudi diketahui menunjuk susunan majelis hakim untuk perkara tersebut. Penunjukan itu meliputi Erintuah Damanik sebagai ketua majelis, dan dua hakim anggota, Mangapul dan Heru Hanindyo. Meski demikian, Rudi membantah bahwa keputusan itu dilakukan atas permintaan Lisa Rachmat, pengacara Ronald Tannur.
Dalam dakwaan yang dibacakan oleh jaksa, Rudi diduga menerima suap sebesar 43.000 dollar Singapura serta gratifikasi dengan total nilai mencapai Rp 21,9 miliar. Dana itu ditemukan saat penyidik menggeledah rumahnya di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Rudi juga tengah menjalani pemberhentian sementara dari Mahkamah Agung dan batal dipromosikan sebagai Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan.
“Termasuk kerugian negara nanti akan kami sampaikan,” ujar jaksa saat merinci tuntutan terhadap Rudi.
Kini, Rudi Suparmono menghadapi tuntutan tujuh tahun penjara serta denda sebesar Rp 860 juta. Meski demikian, tim pembela berharap majelis hakim mempertimbangkan bahwa kliennya tidak memiliki keterlibatan langsung dalam pengambilan putusan, melainkan hanya menjalankan prosedur administratif selama masa jabatannya. []
Diyan Febriana Citra.