JAKARTA — Presiden ke-6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali mengingat salah satu fase paling krusial dalam perjalanan kepemimpinannya, yakni saat menangani bencana tsunami Aceh pada 26 Desember 2004. Refleksi tersebut disampaikan SBY dalam acara peluncuran buku otobiografi mantan Panglima TNI Djoko Suyanto di kawasan Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Sabtu (13/12/2025).
Dalam pandangannya, tragedi tsunami Aceh bukan hanya menjadi ujian terbesar bagi bangsa Indonesia, tetapi juga menguji ketangguhan kepemimpinan nasional dalam menghadapi krisis kemanusiaan berskala masif. SBY menuturkan bahwa pada masa itu, seluruh energi dan waktu dicurahkan demi memastikan keselamatan rakyat serta pemulihan negara pascabencana.
“Kita ingat 21 tahun yang lalu ketika ada musibah tsunami, the biggest disaster in our history, kita pontang-panting day by day, night after night to save our people,” ujar SBY.
Ia menggambarkan bagaimana pemerintah harus bekerja tanpa mengenal waktu, mengoordinasikan kekuatan sipil dan militer, serta menjalin kerja sama internasional untuk menanggulangi dampak bencana yang menewaskan ratusan ribu orang tersebut. Menurut SBY, pengalaman tersebut meninggalkan pelajaran mendalam tentang pentingnya kepemimpinan yang cepat, tegas, dan berorientasi pada kemanusiaan.
SBY juga menyinggung kondisi kebencanaan yang kembali melanda sejumlah wilayah di Indonesia, khususnya Sumatera dan Aceh. Ia menyatakan dukungan terhadap langkah-langkah yang saat ini ditempuh Presiden Prabowo Subianto dalam menangani bencana berskala besar.
“Kita mendukung langkah-langkah Presiden Prabowo sekarang untuk mengatasi juga bencana berskala besar, utamanya di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat,” tuturnya. Menurut SBY, kesinambungan kebijakan dan keberanian mengambil keputusan cepat menjadi kunci dalam menghadapi situasi darurat.
Selain refleksi kebencanaan, SBY juga mengaitkan pengalamannya dengan nilai-nilai kepemimpinan dan etika yang ia pegang bersama Djoko Suyanto. Ia mengenang perjalanan politiknya, khususnya menjelang Pemilihan Presiden 2009, sebagai masa yang penuh tantangan namun sarat dengan idealisme.
“Mengapa indah? Karena ternyata kami berdua memiliki idealisme, nilai-nilai atau values, dan etika dalam dunia politik. Etika dalam berpolitik,” ucap SBY.
Ia menilai sikap Djoko Suyanto yang tidak terlibat dalam politik praktis saat masih aktif di TNI sebagai bentuk konsistensi terhadap etika profesional.
“Mas Djoko nampaknya tidak memilih untuk masuk ke arena politik kekuasaan atau politik praktis. Tentu sikap itu sangat saya hormati sebagai kawan,” imbuhnya. Bagi SBY, keteguhan pada prinsip menjadi fondasi penting dalam membangun demokrasi yang sehat.
Ketika Djoko Suyanto akhirnya bergabung dalam pemerintahan, SBY menegaskan bahwa perjuangan politik yang dilakukan harus tetap berada dalam koridor moral dan konstitusi.
“Ketika saya ajak untuk berjuang dalam dunia politik, tentu dalam perjuangan politik yang lurus, yang benar, dan yang halal, Alhamdulillah waktu itu Mas Djoko bersedia,” kata SBY. Ia pun mengaku bersyukur memiliki rekan seperjuangan yang sejalan dalam visi dan komitmen kebangsaan. “Saya bersyukur karena saya memerlukan tokoh seperti ini. Yang satu hati, satu visi, dan yang juga menghormati tatanan demokrasi dan kehidupan bernegara yang bertumpu pada konstitusi,” lanjutnya.
Djoko Suyanto sendiri pernah menjabat sebagai Panglima TNI pada periode 2006–2007 dan kemudian dipercaya menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan pada Kabinet Indonesia Bersatu II. Bagi SBY, perjalanan bersama Djoko Suyanto mencerminkan pentingnya sinergi antara kepemimpinan sipil dan militer dalam menjaga stabilitas negara, terutama saat menghadapi krisis besar seperti bencana alam. []
Diyan Febriana Citra.

