JAKARTA – Proses hukum perceraian antara selebgram Tasya Farasya dan suaminya, Ahmad Assegaf, memasuki babak akhir. Pengadilan Agama Jakarta Selatan menjadwalkan pembacaan putusan pada 12 November 2025, yang akan menjadi penentu nasib rumah tangga pasangan publik figur tersebut.
Namun, di balik perhatian publik terhadap kehidupan pribadi Tasya, sidang ini juga menyoroti kemajuan sistem peradilan di Indonesia, khususnya penerapan pengadilan elektronik (e-court) yang kini menjadi standar baru di Pengadilan Agama.
Humas Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Dede Rika Nurhasanah, membenarkan jadwal sidang terakhir tersebut. “Agenda selanjutnya musyawarah majelis, baca putusan tanggal 12 November,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (05/11/2025).
Ia menambahkan, seluruh rangkaian proses persidangan pasangan tersebut mulai dari pendaftaran, pemeriksaan berkas, hingga penyampaian kesimpulan dilaksanakan melalui sistem e-court, tanpa tatap muka langsung di ruang sidang.
“E-court juga. (Pembacaan putusan cerai) lewat e-court juga,” kata Dede menegaskan.
Penerapan sistem digital ini merupakan bagian dari upaya Mahkamah Agung untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam proses peradilan, sekaligus menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi serta kebutuhan masyarakat modern.
Dalam kasus Tasya Farasya, seluruh proses dijalankan secara daring, termasuk musyawarah majelis hakim yang akan dilakukan sebelum pembacaan putusan. Hal ini menunjukkan bahwa digitalisasi kini tidak hanya terbatas pada pendaftaran perkara, tetapi juga menyentuh aspek teknis penyelenggaraan sidang.
Kendati begitu, pihak pengadilan tetap menjaga kerahasiaan isi berkas dan materi perkara. Saat dimintai keterangan lebih lanjut terkait isi kesimpulan dari kedua pihak, Dede Rika menegaskan bahwa pengadilan tidak dapat membuka detail tersebut kepada publik.
“Ya enggak bisa. Kalau isi, sudah dari awal kami katakan, tidak bisa disampaikan,” ujarnya dengan tegas.
Kasus perceraian ini menjadi contoh nyata bagaimana perubahan sistem peradilan berbasis teknologi mulai diterapkan secara luas, bahkan dalam perkara-perkara dengan sorotan publik tinggi. Bagi sebagian kalangan, langkah ini dinilai sebagai bentuk modernisasi yang membawa kemudahan, efisiensi waktu, dan transparansi.
Namun di sisi lain, beberapa pengamat menilai bahwa penerapan sidang daring juga menimbulkan tantangan baru, terutama dalam aspek etika persidangan, validitas dokumen elektronik, dan keterlibatan emosional para pihak yang lebih terbatas dibanding sidang tatap muka.
Apapun hasil dari sidang Tasya Farasya dan Ahmad Assegaf nanti, kasus ini telah menjadi simbol transformasi digital di ranah hukum keluarga Indonesia. Publik kini tinggal menunggu tanggal 12 November 2025 mendatang, ketika putusan akhir dibacakan secara daring sebuah momentum yang tidak hanya menentukan akhir hubungan dua insan, tetapi juga menandai langkah maju sistem peradilan agama di era digital. []
Diyan Febriana Citra.

